“PILIH AYYY!!!”
Teriak salah seorang perempuan yang berdiri dengan penuh semangat di antara teman-teman perempuan yang lainnya, yang hanya memilih untuk cekikikan melihat tingkah pemilik suara lantang barusan.
Ruangan dengan cahaya temaram itu seperti belum bayar listrik, bahkan untuk menatap wajah seseorang saja sulit. Tapi hal itu sudah tidak menjadi masalah ketika sudah di dalam dan mata telah terbiasa dengan situasi.
Dan dentuman musik yang keras memaksa semua orang untuk sedikit mengeraskan suaranya, supaya bisa terdengar.
“CK! Gue udah liat, bawel!”
Gadis dengan rambut hitam legam berombak dengan gaya setengah mabuk yang pura-pura, tengah menatap dengan fokus ke satu titik, seorang pria, tepatnya, yang langsung teralihkan perhatiannya ketika mendengar bisik-bisik sekitarnya mengenai ‘pakai celana panjang’.
Well, mereka sedang membicarakan gadis berambut ombak itu. Dia memakai celana panjang di pinggul, walau atasannya hanyalah sehelai bikini tipis yang memperlihatkan dua area yang menonjol dengan kebanggaan tersendiri.
Aneh?
Aneh lah!
Mereka sedang di kelab malam kelas atas. Dan biasanya penjaga tidak mengizinkan dresscode yang menutupi tubuh untuk tamu wanita. Kelab ini mengharuskan tamunya mengenakan medium atau mini dress.
Tapi aturan itu tidak berlaku bagi gadis itu.
Ayaka Wijaya.
Nama gadis berambut ombak itu. Sahabat-sahabatnya biasa memanggilnya Aya.
“Hai, Ay!” sapa seorang pria muda yang mengira dia menjadi pilihan Aya malam ini.
Tapi sayang, Aya tidak mau lelah-lelah menggubris yang bukan sasarannya, membuat pria itu terkejut dan memilih menyalurkan emosinya dengan mencari partner lain untuk malam itu.
Aya terus berjalan menuju meja bar dan berhenti di belakang sebuah bangku tinggi yang sudah dihuni oleh seorang gadis centil dengan mini cocktail dress berwarna hitam.
Aya yang memang perawakannya tinggi, ditambah lagi dengan sepatu high heels 10 cm-nya, mengangkat botol Vodka berwarna bening itu ke atas dan menghantamkannya di meja, di hadapannya.
Gadis berpakaian cocktail itu terkejut dan hampir marah, namun melihat siapa yang baru saja menghantam meja tempatnya sedang merayu pria yang ternyata tengah disasar Aya, ia segera berlari menjauh dengan wajah menahan amarah dan malu.
“Ohhh... haaayyyy...,” sapanya dengan suara lembut dan diseret, sambil menempatkan diri di bangku yang sudah ditinggal penghuninya.
Dia masih dengan akting pura-pura mabuknya yang 100% berhasil menipu semua orang yang ada di kelab malam itu. Karena terlihat hampir semua pria yang datang sepertinya menantikan waktu untuk membopong Aya kalau-kalau dia mabuk dan tidak sadarkan diri.
Dengan cairan di dalam botol Vodkanya yang hanya tersisa seperempat dari pertama kali botol itu dibuka, tidak sulit meyakinkan orang-orang kalau dia mabuk.
“Kau butuh sesuatu gadis manis yang sopan?” sindir pria itu sambil membuka jas kulit yang dipakainya, dan menggantungnya di bahu Aya, lalu menarik jaket itu agak rapat, untuk menutupi 2 bulatan kecil yang menonjol menembus bahan atasannya.
Aya terkikik.
“Kauuuu... punya obeng gaak?” tanya Aya sambil meletakkan kepalanya di atas meja dan memandangi pria itu dengan tatapan ‘dreamy’.
Pria itu menggeleng dengan raut kebingungan, menjawab pertanyaan Aya.
“Kalauuuu namaaaa, punya ‘kaaaan?”
Pria itu tertawa terbahak-bahak mendengar ujung pertanyaan dari Aya.
“Kau tahu, kau menggemaskan?”
“Yea, I get that a lot...”
“Ohh, apa kau keturunan dewa Narcissus?”
Aya menganggukkan kepalanya, dan menutuk bibirnya, meminta sebuah ciuman.
Pria itu masih tertawa, lalu tanpa ragu ia mendekatkan bibirnya ke arah wajah Aya yang sudah menutup matanya pasrah, dan mengecup kening aya.
“Aku Tama Xanadre, salam kenal!” ujar pria yang akhirnya memberikan namanya sebagai jawaban dari pertanyaan Aya sebelumnya.
Menerima kecupan manis di kening, Aya sontak mengangkat kepalanya dan melumat bibir pria di hadapannya. Kedua tangannya sudah bebas dan menyisir rambut pria itu yang untungnya, tidak dilumuri gel rambut.
Aya dan pria bernama Tama itu tengah menikmati bibir pasangannya ketika tiba-tiba seseorang menarik dan memisahkan tautan mereka dengan paksa.
“UDAHHHH AYOKKK PULANGGG!!! SALAM KENAL YA, TAMA!!” seorang perempuan bersuara lantang tadi yang menggeret Aya untuk menyudahi acara ‘dessert’-nya bersama Tama.
“VELOOOOOVVVVVEEEEE!!!! KENAPA LU TARIK GUEEEEEE... TAMAAAAAAA...”
“ANJIR, AYA!!! ITU BUTLER LU UDA MAU COPOT MATANYA NGAWASIN LU DARI TADI...” teriak gadis yang ternyata bernama Velove.
Seketika Aya menegakkan tubuhnya, mendengar teriakan temannya soal butlernya itu.
“Tas gue mana?”
“Vakk! Lu pura-pura mabok ya?” Velove mendorong tubuh Aya yang ternyata sama sekali tidak mabuk itu, “Tas lu udah sama Cheya. Anak-anak uda masuk mobil semua.”
“Hehehe! Iya laaahhh, Vodka doang!”
Mereka segera menuju mobil van besar berwarna hitam legam dengan logo kuda hitam di atas kap mobil itu.
“Greeeeyyy!!!” seru Aya sambil berlari mendapatkan butlernya yang hanya menghela napas.
“Terima kasih, Nona Velove,” ujar sang butler yang dipanggil Grey tadi.
Velove menggaruk belakang kepalanya yang tentunya tidak gatal, karena dia rajin keramas di salon mamanya, “Udah biasa, Greeeey....”
“Astaga Ve, emang Cuma Grey aja yang gak peka ya. Gue aja mo muntah liat lu manis begini.” Aya segera berlari masuk ke dalam mobil meninggalkan Velove yang menahan emosinya di depan Grey, yang sama sekali tidak paham arah pembicaraan dua nona muda ini.
“Silahkan masuk, nona Velove,” ujar Grey yang memilih mengabaikan apapun maksud pembicaraan mereka dan segera membukakan pintu mobil, menampilkan 6 gadis lain yang berpakaian mini dress sedang cekikikan. Mereka adalah sahabat-sahabat Aya.
Tapi Velove bukan hanya sekedar sahabat, ia juga adalah kakak tirinya, sejak 3 bulan yang lalu.
Ayah Aya menikahi ibu Velove 3 bulan yang lalu, membuat mereka sangat senang, karena memang mereka sudah bersahabat sebelumnya. Dan sekarang mereka tinggal dalam satu rumah yang sama, di kediaman Antonio Wijaya, ayah Aya.
Malam masih panjang dan Grey masih harus mengantar mereka satu per satu ke rumah mereka masing-masing.
Di tempat lain, Tama yang sudah ditinggal paksa oleh Aya, masih duduk di bar kelab ditemani oleh sahabat sejak kecilnya, Zof, seorang barista.
“Lu pasti gak tahu siapa cewek itu,”
***
Bersambung