JoyNovel

Let’s Read The World

Open APP
Zey

Zey

Author:Nuril Iklimah

Finished

Introduction
Zahra yang dipanggil Zey oleh Rama, pacarnya, dan semua teman dekatnya. Dia merupakan cewek periang. Rama yang sekarang menjadi pacarnya merupakan sosok kulkas berjalan sebelum mengenal Zey. Satu waktu, Rama memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Zey. Sebenarnya ada apa dengan Rama? Kenapa dia memutuskan hubungan dengan Zey? Padahal sehari sebelum itu Zey dan Rama berciuman mesra di rumah Zey.
Show All▼
Chapter

Pagi yang cerah itu seperti pagi biasa pada hari-hari sebelumnya. Matahari bersinar menunjukkan cahayanya. Embun pagi turun menyejukkan serta menyapa dedaunan yang tinggal bersama ranting pohon. Aku pun bergegas menuju sekolahku yang tak terlalu jauh dari rumah. Aku sangat tidak sabar untuk sampai di sekolah dan bertemu pacarku. Seseorang yang cerdas, keren, dan semua hal baik melekat pada dirinya. Aku bingung, kenapa dia memilih aku sebagai pacarnya. Mengingat dia adalah ketua OSIS yang digemari cewek cantik sekolah. Hubungan kami sudah berjalan selama hampir satu tahun. Bulan depan adalah tepat satu tahun kita pacaran, kalau kata orang-orang sih namanya anniversary.

Sesampainya di sekolah, tak kutemukan batang hidung pacarku. Biasanya dia selalu berada di gerbang sekolah untuk memeriksa setiap siswa yang datang. Dia berangkat sekolah pagi-pagi sekali. Kurasa dia adalah orang pertama yang tiba di sekolah setiap harinya dan juga menjadi orang terakhir. Sesekali aku menunggu dia untuk pulang bersama. Ruang OSIS yang berada di samping koperasi sekolah sangat strategis untuk kutempati menunggu dia. Sambil menunggu urusannya kelar di ruang OSIS, terkadang aku membantu wali kelasku yang merupakan kepala kopsis sekolah.

Sebenarnya aku ingin menjadi anggota OSIS, bukan karena ingin selalu melihat dia, tapi memang aku tertarik dengan organisasi kece ini. Anggota OSIS sekolahku dipilih oleh wali kelas masing-masing. Jadi, setiap kelas mempunyai dua sampai tiga anggota OSIS. Wali kelasku tidak memilih aku menjadi ketua OSIS. Ah, sudahlah. Mungkin memang tidak cocok untukku.

“Zahra Fachira”. Terdengar namaku dipanggil oleh guru matematika yang sedang mengajar di kelas. Kali ini aku yang menulis jawaban dari pekerjaan rumah kemarin. Setelah tiga murid sebelumnya kurang tepat menjawab, dan murid andalan di kelas ini adalah aku. Ya, akhirnya selesai. Semua soal aku selesaikan di papan tulis.

“Zey, ke kantin?”, Nayla mengajakku. Tapi aku tidak bersemangat untuk mengiyakan. Entah. Mungkin karena Rama sedang sakit hari ini dan tidak masuk sekolah. Rama adalah pacarku.

Seketika terbesit di otakku untuk menjenguknya nanti sepulang sekolah. Membawakan buah-buahan serta makanan sehat lain.

Persis seperti rencanaku, aku pun pergi ke minimarket dekat sekolah hendak membeli beberapa makanan dan minuman sehat untuk kuberikan pada Rama. Aku membeli beberapa buah, susu, dan juga vitamin agar dia kembali sehat. Dia memang bukan tipe orang yang jarang sakit. Imun tubuhnya lemah. Setidaknya dalam dua bulan ada simbol ‘S’ di presensi kelasnya.

Aku dan Rama memang se-angkatan, tapi beda kelas. Aku di kelas C dan Rama di kelas B. Hanya selisih satu tembok. Saat dia keluar kelas untuk menjemput guru mapel selanjutnya, aku selalu siap di samping pintu kelas untuk melihatnya. Tapi dia tidak se-romantis karakter novel yang biasa aku baca. Dia tidak melihat sekali pun ke kelasku. Jangankan melihat, melirik pun tidak.

Di rumah Rama, aku disambut hangat oleh ibunya. Kami sudah akrab akhir-akhir ini, kurang lebih tiga bulan terakhir. Kami membicarakan tentang semua hal, mulai dari Rama sendiri, kehidupan mereka, kehidupan keluargaku, atau juga membicarakan tas-tas branded yang sedang trendy.

Rama memang terlihat kurang vit hari ini. Tapi wajahnya yang tampan tidak terkurang sedikit pun.

Rambutnya. Aku suka sekali rambut Rama. Lurus dan lembut. Setiap dua minggu sekali dia selalu memberitahuku lewat pesan sebelum memotong rambut.

“Zey, aku mau potong rambut”.

Rambutnya terlihat rapi dan tidak pernah panjang, karena dia ketua OSIS dan selalu memeriksa rambut siswa lain dari kelas sepuluh hingga dua belas.

Kurang lebih sudah dua jam aku di rumah Rama. Ahh, perasaanku tak selama itu. Entah mengapa saat kita menyukai sesuatu, waktu pun berjalan begitu cepat. Ingin ku membentak waktu yang berjalan begitu cepat ketika aku bertemu Rama. Berbeda dengan saat kita membenci sesuatu, maka waktu terasa lama sekali untuk berputar. Saat Rama tidak membalas pesan dariku, lima menit saja serasa seminggu, atau bahkan satu bulan. Alay sekali, ya. Hahaha.

Hari sudah sore dan hampir gelap. Aku melihat Ayah Rama pulang dari pekerjaanya. Sebenarnya aku tidak tahu beliau bekerja apa.

“Wahh ada Zahra”, beliau menyapaku.

“Sudah makan?”, beliau bertanya.

“Ayah. Baru pulang?”. Belum kujawab pertanyaan dari Om Taufiq, ada suara dari dapur yang menyambutnya pulang.

“Ayo sini, semuanya makan. Zahra juga, ya.” Ibu Rama mengajakku.

“Oh baru mau makan?”, kata Om Taufiq.

Sebenarnya aku malu untuk makan di sini bersama keluarga Rama. Tapi mau menolak pun juga tidak enak. Ibu Rama memasak banyak hari ini. Jadi, aku tidak bisa menolak ajakan mereka.

Waktu makan pun, aura tampan dari wajah Rama tidaak berkurang sedikit pun. Sepertinya aku tergila-gila dengan visual Rama. Anak dari Ibu Alfiyah dan Om Taufiq ini memang berhasil membuat aku mabuk kepayang. Ingin rasanya untuk membawa Rama pulang dan akan kupajang di tembok kamarku.

Bukan cowok ganteng yang membuat kamu jatuh cinta, tapi jatuh cinta yang membuat cowok itu terlihat lebih ganteng.

Aku pernah membaca kutipan tersebut di sebuah novel romance yang pernah kubaca. Tapi untuk Rama, dia benar-benar tampan. Tanpa jatuh cinta pun, aku mengakui bahwa dia memang tampan. Entah berapa kali aku memuja ketampanan dia.

Setelah makan, aku membantu Ibu Alfiyah mencuci piring namun dilarang. Tidak enak untuk tidak membantunya, aku pun memaksa untuk membantunya walau hanya sekedar membersihkan meja.

“Om, Tante, Zahra pamit pulang, ya. Sudah malam hehehe,” sifat sok imutku keluar.

“Eh, apa gak nginep aja, Zahra?”, pertanyaan Ibu Alfiyah mengagetkanku. Sontak aku menolak dan mungkin wajahku sekarang sudah berubah warna merah.

Aku melihat Rama menahan senyumnya. Ahh, sungguh indah ciptaan-Mu ini Ya Tuhan. Beruntung sekali hari ini aku tidak membawa karung. Mungkin akan kubawa ia dengan karung bila aku membawanya. Kali ini Rama beruntung.

“Aku antar ya, Zey”, aura manis itu semakin menambah.

“Ah nggak usah, Ram. Kamu kan masih sakit. Udah gapapa aku sendirian. Lagian juga gak jauh.”

“Oh kalau gitu biar Ayah saja”, kata Ibu Rama.

Aku menolak beberapa kali karena sudah tidak enak merepoti keluarga Rama. Tapi Om Taufiq bersikeras untuk mengantarku pulang.

“Kalau calon menantu Om kenapa-kenapa di jalan, anak Om gimana dong?”

What? Calon menantu? Sepertinya aku ingin terbang mendengar kalimat itu. Tidak tau penampakan wajahku sekarang seperti apa.

Aku pun diantar pulang oleh Om Taufiq. Dia selalu berbicara seperti biasanya. Tidak butuh waktu lama untuk akrab dengan Om Taufiq. Begitu juga istrinya. Tidak seperti Rama. Aku pun bingung, sifat pendiam Rama didapat dari siapa.