JoyNovel

Let’s Read The World

Open APP
A SONG FOR YOU

A SONG FOR YOU

Author:IU_2493

Finished

Introduction
Menyakiti dan disakiti. Menghina dan dihina. Melukai dan dilukai. Kata yang berawalan dengan "di" bernilai plus di mata Tuhan. Mencintai itu tidak salah. Karena dengan tiba-tiba timbul ke permukaan dan mendesak hasrat untuk segera mengungkapkannya. Namun Yudha memiliki cara mengungkapkan rasa yang berbeda. Sebuah lagu buatannya yang sangat ingin ia nyanyikan bersama dengan gitar kesayangannya. "Kamu keren, sama seperti tiap lirik dari lagumu."
Show All▼
Chapter

Terlihat seorang wanita cantik berpakaian formal yang sedang berdiri di sisi jalan nampak sedikit kesal jika di lihat dari raut wajahnya. Sesekali ia akan melihat ke kanan dan ke kiri seperti menunggu seseorang. Wanita itu juga tidak jarang melainkan bahkan sering sekali memainkan ponselnya dan menempelkannya di telinga kirinya beberapa saat kemudian, lalu menepuk ponselnya berkali-kali.

Setelah di rasa terlalu lama menunggu, wanita itu menghentikan taksi yang melintas di depannya dan segera menaikinya.

“Ke jalan Tambora, pak.” ujar wanita itu.

Supir taksi itu hanya menganggukkan kepalanya saja dan langsung menjalankan mobilnya.

Drrrt drrtt

‘Sayang?’ seru seseorang dari seberang sambungan.

“Enyahlah saja kamu! Aku sudah menghubungimu berkali-kali kenapa tidak menjawabnya?” ujar wanita itu dengan nada penuh kesal.

‘Maafkan aku, aku tadi sedang ada perlu dengan Naufal. Sekarang, aku juga sedang beeada di rumahmu.’

“Alasan! Bukannya tadi pagi kamu sendiri yang bilang akan menjemputku ketika pulang? Kamu juga membiarkan aku kepanasan ketika menunggumu yang nyatanya tidak menjemputku.”

'Iya Zia sayang aku salah, maafkan aku ya, sekarang kamu sedang berada di mana? Aku jemput ya.’

“Tidak perlu!”

‘Tap_’

Pip

Wanita bernama Zia itu mematikan sambungannya secara sepihak dan memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas jinjingnya yang berada di pangkuannya.

“Pak, nanti berhenti di Cafe depan saja.” ujar Zia meralat tujuannya. Karena tadi Zia juga mendengar jika seseorang yang menghubunginya beberapa saat lalu, saat ini sedang berada di rumahnya.

“Depan, samping kiri itu ya?” tanya supir taksi itu memastikan.

“Iya, benar.” sahut Zia.

“Iya baiklah.”

Setelah sampai di depan Cafe yang di maksud, supir itu memberhentikan taksinya. Zia menyodorkan beberapa lembar uang dan kemudian keluar dari sana.

Zia melangkahkan kakinya memasuki Cafe dan mengambil tempat duduk di sudut paling belakang. Café nampak sepi karena terlihat hanya terdapat tiga sampai lima pengunjung saja. Zia mendudukkan dirinya dan menaruh tas di samping dirinya duduk, yang sedari tadi terus menggantung di lengannya, setelah itu Zia memanggil pelayan Café itu untuk memesan minuman. Zia melirik ke jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Jarumnya masih menunjukkan pukul empat lebih enam belas menit.

Pesanan Zia baru saja datang beberapa saat yang lalu. Namun Zia malah asyik memandangi pemandangan jalan yang ramai dan dapat di lihat dari dalam, karena Café itu sebagian temboknya hanya kaca bening yang tembus pandang.

Zia menghembuskan napasnya pelan dan mengamit minumannya lalu meminumnya.

“Zia!”

Zia yang merasa namanya di panggil memutar pandangannya ke arah pintu masuk.

“Reza,” gumam Zia.

Seorang pria yang memanggil Zia itu mendekati Zia dan mendudukkan dirinya di depan Zia.

“Ngapain kamu ke sini?” tanya Zia merasa heran.

“Jemput kamu.” sahut Reza enteng.

“Jemput aku? Tapi bagaimana bisa kamu tahu jika aku sedang berada di sini?” tanya Zia.

“Kelihatan dari luar.” jawab Reza.

“Ngomong-Ngomong, di rumah ada Aditya?”

“Iya, baru saja datang beberapa saat yang lalu sebelum aku pergi jemput kamu.” sahut Reza sambil meletakkan ponselnya di meja.

“Oh seperti itu, mas Banu tidak menyuruh Aditya untuk menjemput aku?”

“Memangnya kenapa?” tanya Reza sambil mengerutkan keningnya.

“Tidak, lupakan saja. Ngomong-ngomong Mas Banu ya, yang nyuruh kamu buat jemput aku?”

“Bukan nyuruh, tapi minta tolong. Ketika Aditya baru sampai di rumah bersama Naufal, Masmu langsung menghampiri keduanya menanyakan keberadaanmu, mengingat tadi siang Aditya sendiri yang bilang jika ia yang akan menjemputmu nantinya. Kamu tahu sendiri kan, Masmu kaya apa, dia memarahi Aditya karena dia beranggapan telah lalai akan tanggungjawabnya untuk menjagamu. Sudah, ayo kita pulang, aku khawatir anak-anak lain di rumah kenapa-kenapa.” ajak Reza.

“Maksud kamu, Za?”

“Apa lagi?” tanya Reza sedikit jengah karena Zia yang terus-terusan bertanya tanpa henti.

“Kamu ngerap? Ngomongnya cepat sekali, terlebih lagi berbelit-belit. Tidak mau tahu ayo jelasin ulang. Lagian kenapa buru-buru sih?” ujar Zia.

“Zia, astaga. Aku hanya khawatir karena mas mu sedang mengamuki anak-anak di rumah.” ujar Reza sambil mengusak wajahnya.

“Lho, bagaimana bisa?”

“Nanti juga kamu tahu. Sekarang, ayo  kita pulang saja dahulu.”

Tanpa berpikir dua kali, Zia langsung mengangguk saja dan menaruh selembar uang di bawah gelas pesanannya  itu lalu membuntuti Reza keluar dari Café.

***

Baru saja mobil Reza memasuki kawasan rumah keluarga Zia, telinga keduanya sudah di sambut oleh teriakan Banu yang sangat nyaring.

Setelah keluar dai mobil Reza, Zia memasuki rumah. Baru saja membuka pintu utama, Zia di kejutkan suara gebrakan meja oleh Masnya Banu.

"Mas Banu," panggil Zia.

Banu yang merasa namanya di panggil, memutar pandangannya dan melihat Zia, adik kesayangannya berdiri di pintu.

"Zia, kamu sudah pulang? Tadi pulang bareng Reza, kan?" tanya Banu lembut ke Zia.

Banu merupakan seorang ketua geng motor yang paling di takuti di daerah itu. Bahkan, saat perkumpulan pun, Banu selalu saja menguarkan aura yang kurang baik, tapi berbeda jika sudah berhadapan dengan adiknya. Memang, Banu sangat sayang pada Zia. Bahkan Banu tidak pernah sekali pun membentak atau berbicara menggunakan nada tinggi kepada Zia.

"Mas Banu kenapa teriak-teriak?" tanya Zia sambil mendekati Banu. Zia bahkan dapat melihat semua mata teman Masnya tertuju padanya.

"Tidak ada apa-apa, Zia masuk saja ke kamar ya, Mas Banu ada perlu sebentar."

"Mas, jangan berantem ya." peringat Zia lalu berlalu ke kamarnya.

"Iya adikku sayang, iya."

Setelah melihat tubuh Zia yang menghilang di balik pintu kamarnya, Banu kembali menatap orang di sekitarnya itu.

"Nu, maafkan kami. Kemarin kami hanya terbawa emosi saja." ujar salah seorang di antara kerumunan itu.

Banu menghela napasnya sejenak, "Baiklah, lupakan saja. Tapi jika nanti telingaku mendengar lagi tentang kalian yang berbuat sesuka hati, aku tidak akan segan-segan memukuli kalian." ujar Banu datar.

"Reza, Aditya dimana? Bukannya tadi mampir kesini ya?" ujar Banu merasa heran, dirinya sudah merasa lebih tenang sekarang.

"Tadi dia izin ke toilet sebentar."

"Oh baiklah." sahut Banu, Banu melihat teman-temannya masih berdiri mematung di sekitarnya.

"Hey, apa aku terlalu seram ketika marah? Duduklah, kenapa terus-terusan berdiri." ujar Banu.

Semua teman-teman Banu menurut untuk duduk. Memang, ketika Banu sudah di kuasai oleh emosi, tidak akan ada yang bisa melawannya. Bukan karena jabatan Banu sebagai ketua. Banu memang tidak akan main-main kepada teman-temannya jika mereka melakukan kesalahan.

Beberapa saat kemudian, Aditya dan Naufal memasuki ruangan itu.

“Suasananya suram sekali, perasaanku tidak enak, nih.” gumam Aditya dalam hati.

“Aditya,” panggil Banu dengan suara beratnya ketika matanya menangkap sosok Aditya.

Bulu kuduk Aditya seketika meremang merasa ngeri ketika mendengar suara Banu.

“Iya?” sahut Aditya sambil mendekati Banu.

“Tadi siang kamu bilang apa sama Mas?”

“Oh itu mas, A-aku yang akan menjemput Zia nantinya.” jawab Aditya sedikit gugup.

“Lalu, kenapa tidak di jemput?”

“Maafkan aku Mas, aku ada perlu penting dengan Naufal.” jawab Aditya menundukkan pandangannya.

“Baiklah, Lupakan saja. Lagian Zia sudah ada di rumah dengan selamat. Aku akan memaafkan kecerobohanmu kali ini, lain kali jangan di ulangi lagi ya.” peringat Banu.

“Iya Mas, terima kasih.”

Bukan tanpa sebab Banu hendak memarahi Aditya, pasalnya dua tahun yang lalu Aditya sendiri yang bilang ke Banu jika dia yang akan menggantikan Banu menjaga Zia, mengingat Banu yang resmi di angkat menjadi ketua geng motor dan belum lagi tugas kantor, mengingat Banu juga seorang Presdir di perusahaan Diamond Company peninggalan ayahnya. Banu pastinya tidak melulu ada untuk Zia.

Awalnya Banu merasa ragu untuk mempercayakan Zia kepada Aditya. Wajar, rasa khawatir tidak akan pernah hilang mengingat Zia adalah anggota keluarga satu-satunya yang kini Banu miliki di sini. Kedua orang tuanya kecelakaan saat hendak pergi bisnis di luar kota, meninggalkan Banu yang masih berumur sangat muda dan adik perempuannya yang baru menginjak remaja.

Di usia yang masih terbilang muda, Banu belajar masalah kantor kepada pamannya, selaku adik dari ayahnya. Setelah beberapa tahun, Kini Banu bisa menguasai semua hal yang telah di ajarkan oleh pamannya.

Setelah di rasa cukup, Banu di percayakan untuk menjalankan perusahaan peninggalan ayahnya yang tadinya di urus pamannya. Sedangkan pamannya akan mengurus anak perusahaan yang letaknya di luar kota.