"Apa, Om? Menikah?" Abella, dara dua puluh empat tahun itu tampak terkejut dengan pernyataan pria paruh baya di depannya.
"Itu benar, Bel. Apa aku harus membaca surat ini dari awal?" tanya Pak Suryo, Notaris yang mengurus segala sesuatu tentang warisan dan surat wasiat mendiang orang tua angkatnya.
Abel menggeleng pelan tak percaya. Baru tiga hari yang lalu, kedua orang tua angkatnya yang memiliki hati bak malaikat itu berpulang setelah kecelakaan fatal. Kini ia harus menghadapi surat wasiat yang berisi permintaan pernikahan dengan pria tak dikenal meski masih berduka.
"Tuan dan Nyonya Hendarto telah menulis secara lengkap mengenai calon mempelai pria. Sean Putra Mahendra," lanjut pria dengan kumis tipis itu.
Abella hanya diam, tak mampu berkata-kata. Sebagai anak angkat ia memang tak berhak atas hak waris. Tapi ia sangat ingin membalas jasa dua orang yang telah merawatnya sejak empat belas tahun yang lalu. Mendengar Pak Suryo menyebutkan namanya, tiba-tiba batin tergelitik ingin bertanya. Rasanya nama itu tidak asing di telinga.
"Maaf, siapa, Pak?
"Sean Putra Mahendra," ulang si Notaris.
"Sepertinya saya pernah mendengarnya." Abella mengerutkan kening.
"Dia memang terkenal di kalangan wanita," kekeh Pak Suryo seraya menyodorkan selembar foto.
Tangan wanita berhijab itu terulur meraih foto agar bisa melihatnya lebih jelas. Netra indahnya membulat. Entah ini disebut anugrah atau bencana, foto yang ia pegang berisi wajah penyanyi terkenal yang namanya sedang meroket.
"Sean Mahendra?" lirih Abella tanpa sadar.
"Nah, apa kubilang, orang tuamu sering mengatakan jika kau pendiam dan fokus pada restoran, namun kau juga mengenal nama pria itu."
Abella menelan saliva. Ia tak percaya jika surat wasiat orang tuanya berisi hal seperti ini. Sean Mahendra adalah penyanyi muda bersuara deep yang karirnya sedang berada di puncak. Ia dan salah seorang sahabatnya membentuk duo grup yang dalam waktu cepat menghipnotis jutaan orang untuk menjadi fans.
Pria tampan pemilik box smile itu, sering digosipkan dekat dengan aktris atau penyanyi lain. Tapi Sean tak pernah mengkonfirmasi. Sean memang terkenal sebagai salah satu artis ibu kota yang low profile. Tapi tetap saja ia merasa takkan bisa mengimbangi kehidupan glamour sang artis.
'Ma, Pa, apa yang harus Abel lakukan?' keluhnya dalam hati.
"Bagaimana? Apa kau setuju?" Pak Suryo yang hari itu memakai jas hitam, meminta kepastian.
"Saya meminta waktu untuk mempertimbangkan, Om," jawab Abella dengan senyum dipaksakan.
"Baiklah, kalau begitu aku akan kembali tiga hari lagi." Pak Suryo merapikan berkas dan memasukkannya di dalam tas kerjanya.
Setengah jam kemudian, Abel mengunci diri di kamar. Ia tak menghindari siapapun mengingat di rumah yang hanya ada dua asisten rumah tangga yang selalu menyiapkan keperluannya. Rumah berlantai dua itu bukanlah warisan, melainkan hibah yang telah diberikan bersama sebuah restoran ternama yang terletak di jantung kota.
Abel mulai mengingat kembali kebaikan-kebaikan orang tua angkatnya yang telah pergi sedangkan ia belum bisa membalas apapun. Wanita berhijab mocca itu menatap pantulannya pada cermin oval. Matanya sembap dan kantung matanya terlihat jelas.
"Jika memang itu yang Mama dan Papa inginkan, Abel siap menikah dengan Sean." Wanita itu bergumam dengan air mata yang menetes.
Sang Notaris kembali datang tiga hari kemudian untuk menanyakan keputusan Abel. Setelah asisten rumah tangga menyajikan teh panas untuk keduanya, Pak Surya membuka obrolan.
"Jadi bagaimana?"
"Saya setuju, Om," jawab Abel tanpa ragu.
"Keputusan yang bagus. Tuan dan Nyonya Hendarto pasti bisa beristirahat dengan tenang sekarang," ujar pria itu seraya menyesap tehnya.
"Mungkin kau belum tahu jika orang tuamu berhubungan erat dengan Keluarga Mahendra. Ada semacam hutang budi ketika mereka masih muda dulu. Tenang saja, aku juga cukup dekat dengan mereka. Calon mertuamu akan senang mendengar kabar ini," lanjutnya.
Abel hanya mengangguk sopan. Ia tak tahu itu hanya pernyataan penghiburan atau memang kenyataan. Tapi yang jelas, ia tak bisa memungkiri ada khawatir yang mulai menyelinap.
Saat itu juga Pak Suryo menghubungi seseorang melalui ponsel tipisnya. Terdengar sapaan dan obrolan ringan sebelum membahas terkait dirinya dan juga Sean. Abel tak ingin menguping tapi Pak Suryo menelepon tepat di depannya.
"Ya, Tuan, itu benar. Abel telah setuju."
Jeda selama beberapa detik.
"Minggu depan? Baik, akan kusampaikan padanya."
Tak berselang lama, panggilan diputus. Abel tahu jika Pak Suryo akan mengatakan apa. Namun batinnya seolah tidak siap. Ia ingin berlari.
"Keluarga Mahendra akan mempertemukan kalian minggu depan."
Lagi-lagi Abel hanya bisa memberi anggukan tanpa bersuara. Ia harap keputusannya tepat. Tapi wanita cantik dengan sorot mata teduk itu belum menyadari jika dimulai dari minggu depan, kehidupannya yang semula tenang akan menjadi lebih rumit.
**
"Kenapa Ayah dan Bunda mengambil keputusan tanpa bertanya pada Sean?" Pria tampan berusia dua puluh lima tahun meletakkan alat makannya.
Menu makan malam lezat yang terhidang di depannya tiba-tiba terasa hambar saat orang tuanya mengabarkan terkait perjodohannya dengan wanita asing.
"Dia wanita baik, Sean. Percaya pada kami," bujuk wanita anggun dengan dress putih tulang.
"Lebih baik kau coba untuk bertemu dengannya dulu," tambah sang ayah.
"Kenapa harus Sean? Kenapa bukan Kak Ethan yang dijodohkan?" dengus pria itu kesal saat menyebut nama kakak laki-lakinya yang terkenal dingin itu.
Tuan dan Nyonya Mahendra saling pandang. Mereka seakan bingung akan menjawab apa. Tapi kemudian Sean bangkit dan meninggalkan ruang makan begitu saja. Ia marah sekaligus kecewa pada kedua orang tuanya.
"Sean, tunggu!" tegas Pandu, sang ayah.
Sean menghentikan langkah dan menoleh dengan jengah. Dalam benak, ia menyiapkan kata-kata. Apapun itu asalkan ia bisa menolak perjodohan ini.
"Katakan dengan jujur, apa alasanmu menolak? Apa kau telah memiliki kekasih?" tanya Pandu dengan tatapan lurus.
Sean mengangguk kuat meski itu adalah kebohongan. Ia melihat raut wajah ibunya menjadi resah setelahnya. Tapi ia tak peduli. Ia hanya ingin bebas dan kembali ke apartemennya sendiri secepatnya.
Ketika akan naik, ia berpapasan dengan Ethan. Mereka hanya saling tatap sejenak. Selisih usia mereka hanya tiga tahun namun jarak yang memisahkan seakan membentang. Mungkin karena perbedaan pasion dan karakter menjadi faktor utama.
"Kapan datang?" tanya Ethan datar.
"Tadi sore. Aku ke kamar dulu, Kak," pamit Sean untuk menghindari atmosfer yang membuat tidak nyaman.
Ia membanting tubuhnya di ranjang empuk ukuran king. Sudah lama ia tidak pulang semenjak jadwalnya sebagai penyanyi makin padat dan ia memilih tinggal sendiri di apartemen. Tapi sekarang batinnya tidak tenang.
Karena teringat sesuatu, Sean bangun dan menghampiri laci meja. Ia meraih selembar foto usang yang di ambil belasan tahun lalu. Tampak sepasang bocah sedang berdiri dengan wajah ceria. Sean menyentuh wajah anak perempuan dengan rambut sebahu.
"La, aku akan menemukanmu dan kita wujudkan janji kita untuk menikah ..." ucapnya.
Sean masih menggenggam foto itu sambil menerawang. Ini adalah alasan terbesar kenapa ia menolak perjodohan. Ia hanya ingin menikah dengan Lala, teman masa kecilnya yang kini menghilang. Ia berharap Ethan yang akan menerima tawaran orang tuanya. Sean tak lagi peduli meski ia pun tahu kakaknya telah memiliki kekasih.
***
Bersambung.