JoyNovel

Lisons le monde

Ouvrir l'APP
Under Your Spell

Under Your Spell

Auteur:Neko_Ran

Mise à jour de

Introduction
Talisha tampak seperti siswi SMA biasa yang disukai banyak orang karena parasnya. Namun, gadis enam belas tahun ini memiliki kemampuan unik. Ia bisa mengendalikan pikiran bahkan perasaan orang lain. Berkat bakatnya ini, Talisha bisa membuat banyak orang menyukainya. Talisha ingin membuat Rangga, siswa populer pujaannya, agar jatuh cinta padanya. Tapi tampaknya mantra yang ia gunakan malah meleset ke Gio, siswa pendiam yang paling dihindari di kelasnya. Gio yang dikenal culun dan miskin mendadak berubah setelah ditolak Talisha. Tapi lelaki ini menyimpan sejuta misteri. Di balik senyum manisnya untuk Talisha, Gio menyembunyikan luka dan rahasianya. Benarkah Gio terkena mantra Talisha? Atau, benarkah Gio mencintai Talisha?
Afficher tout▼
Chapitre

Bau busuk menyengat hidung Talisha. Telur busuk, tidak salah lagi. Sekelompok anak terlihat berkerumunan di samping lorong sekolah. Salah satu anak berjongkok di tengah mereka memeluk tas ransel lusuhnya. Rambutnya kotor oleh telur yang sengaja dipecah di atas kepalanya.

Talisha hanya bisa menggeleng pelan. Ia mengikat rambut panjangnya. Tidak ada gunanya memberi perhatian kepada anak-anak itu.

Sudah menjadi hal biasa baginya melihat anak-anak itu diperlakukan seperti sampah. Mereka adalah anak-anak beasiswa. Kebanyakan dari mereka masuk ke SMA Lamita karena beasiswa dari nilai rapot mereka yang tinggi.

SMA Lamita lebih banyak diisi oleh anak-anak dari kalangan kelas atas, mereka yang berasal dari keluarga bangsawan, anak pengusaha, hingga anak pejabat. Siswa beasiswa dianggap seperti sampah dan kerap mendapat perlakuan tak adil dari siswa lain yang merasa diri mereka lebih kaya.

Talisha menghembuskan nafas saat langkah kakinya berhenti di depan ruang guru. Ah, ia sangat malas ke ruangan ini, tapi apa boleh buat sebaiknya ia datang dari pada wali kelasnya memanggil namanya lagi melalui pengeras suara.

“Talisha, kenapa baru datang sekarang? Ibu kan sudah manggil dari awal istirahat tadi,” kata Bu Eris saat melihat Talisha baru masuk.

Talisha hanya tersenyum tanpa dosa. “Maaf, Bu. Tadi laper hehe,” katanya.

Talisha memperhatikan sekeliling. Ternyata ada anak lain yang ikut dipanggil ke ruang wali kelasnya. Anak lelaki itu berkacamata dengan rambut berponi panjang yang menutup matanya. Anehnya meski berponi, rambutnya terlihat klimis. Bajunya juga sangat rapi, tertutup jaket abu-abu yang jarang dilepasnya.

Aneh banget, batin Talisha setiap kali melihatnya.

Talisha tidak ingat siapa namanya, padahal ia yakin mereka sekelas. Ia hanya ingat anak berkacamata tebal itu adalah salah satu siswa beasiswa yang tidak begitu mencolok. Setengah wajahnya saja tidak begitu terlihat karena tertutup poni.

“Oh, halo,” kata anak lelaki itu terlihat canggung saat melihat Talisha.

Seperti biasa, Talisha hanya tersenyum. Senyuman maut yang sering membuat lelaki jatuh hati padanya. Talisha bisa melihat pipi lelaki itu memerah karenanya.

“Talisha, Gio, Ibu nyuruh kalian ke sini karena ini.” Bu Eris memberi selembar kertas pada Talisha dan bocah lelaki bernama Gio itu.

“Nilai kalian terlalu jelek. Masa rata-rata nilai pelajaran kalian cuma tiga! Gio, kamu bahkan dapat nilai nol di pelajaran fisika! Kalau begini terus kalian nggak akan naik kelas.”

Talisha panik. Tidak naik kelas artinya ia harus mengulang satu tahun lagi di kelas sebelas. Reputasinya sebagai siswi populer bisa hancur.

Panik bukan berarti tidak punya solusi. Mungkin ini saatnya Talisha menunjukkan bakatnya. Talisha menutup matanya sejenak, menghirup udara sedalam-dalamnya kemudian menghembuskannya pelan.

“Tapi saya tetap bisa naik kelas, kan?” katanya sambil menatap Bu Eris.

Bu Eris terperangah sesaat. Matanya mendadak kosong. Tak berselang lama ia kembali tersentak seperti teringat sesuatu.

“Ah! Iya! Tentu kamu bisa naik kelas Talisha!” serunya dengan wajah sumringah.

“Kalau gitu saya boleh pergi?”

“Ya, kamu pasti sibuk. Silakan," kata Bu Eris yang terdengar sangat sopan. Tidak ada lagi nada tegas di suaranya.

Talisha menang. Ia melangkah pergi dengan senyum puas. Ternyata lebih mudah dari yang ia kira. Talisha terlalu senang sampai tidak menyadari sesuatu.

Gio memperhatikan semua gerak-geriknya sejak tadi.

***

"Lo kemana aja, sih? Bentar lagi jam olah raga mulai." Eslin menyambut kedatangan Talisha dengan wajah merajuk. Tangannya sibuk mengikat rambut ikal panjangnya.

Jini di sampingnya tidak begitu peduli. Ia terlalu fokus memoles wajahnya dengan bedak.

"Dipanggil Bu Eris."

"Nilaimu jelek lagi?" tanya Jini yang dibalas anggukan lemah Talisha.

"Buruan ganti baju, yang lain udah ke lapangan. Hari ini tim basketnya Rangga latihan."

Talisha seketika semangat mendengar nama Rangga. Lelaki itu sudah merebut perhatiannya sejak kelas sepuluh. Ia tidak mau menyia-nyiakan kesempatan menonton Rangga latihan basket. Lagi pula ia punya rencana besar hari ini.

Tanpa pikir panjang Talisha langsung melesat ke toilet untuk berganti baju. Ia hampir menabrak Gio yang baru masuk ke kelas.

"Ups, sorry!" kata Talisha sambil lalu.

Gio membenarkan letak kaca matanya sembari memperhatikan Talisha.

***

Lapangan basket terdengar lebih riuh dari biasanya. Awalnya Pak Dandi, guru olahraga mereka, ingin menggabungkan jadwal latihan tim basket SMA Lamita dengan jam olahraga. Lapangan itu cukup besar untuk digunakan lebih banyak siswa. Tapi bukannya olahraga sendiri, siswa lain malah asyik menonton latihan basket.

Talisha ikut menonton di sisi lapangan. Matanya tak lepas dari Rangga yang sibuk mengoper bola. Ketua tim basket itu terlihat lebih tampan di bawah terpaan cahaya matahari. Otot-otot lengannya berkilauan karena keringat. Wajah tampan Rangga yang sedang terlihat serius juga membuat Talisha semakin gila.

"Heh minggir!"

Lamunan Talisha terhenti karena seorang kakak kelas mendorongnya. Jini dan Eslin bersiap untuk protes tapi kedua anak kelas dua belas itu malah mendorong mereka agar menjauh.

Eslin hampir membalas mereka ketika Talisha menyuruhnya pergi. "Ke sana aja lebih jelas," kata Talisha.

Ia malas ribut dengan kakak kelas. Apalagi saat memperhatikan sekeliling, lapangan itu banyak dikelilingi anak kelas lain yang sengaja bolos pelajaran untuk melihat Rangga.

Eslin dan Jini memilih pergi lebih dulu, Talisha masih berdiri di tempat. Ia ingin memberi sedikit balasan untuk dua orang yang mengganggu suasana hatinya ini.

"Apa lo liat-liat!"

"Mending kalian jadi ayam lari ke tengah lapangan," kata Talisha kemudian berbalik pergi.

Sebuah asap biru yang hanya bisa dilihat oleh Talisha menyelimuti kedua orang itu. Tatapan mata mereka kosong sejenak. Tak berselang lama keduanya tiba-tiba mengepakkan kedua tangannya sambil berkokok seperti ayam. Mereka lari ke tengah lapangan membuat semua orang tertawa terbahak.

"Mereka kenapa, sih?" tanya Jini menahan tawa, sedangkan Eslin sudah terpingkal sampai tanah.

Talisha tersenyum. Ia menang lagi. Tidak ada yang bisa melawan bakatnya. Ya, ini semua karena bakat yang Talisha miliki. Ia bisa melakukan apapun yang ia mau.

Talisha lahir diberkahi dengan bakat turunan yang tidak biasa. Ia bisa menguasai pikiran bahkan perasaan orang lain. Talisha dapat membuat orang lain melakukan apa yang ia inginkan. Ia juga bisa membuat orang lain merasa seperti yang ia mau. Sedih, senang, marah, Talisha dapat mengaturnya. Inilah salah satu alasan mengapa Talisha disukai banyak orang dan menjadi siswi populer di sekolah. Ya, ia yang membuat mereka menyukainya dengan bakat yang ia punya.

Ayahnya sering memberi peringatan untuk tidak menggunakan bakatnya sembarangan. Tapi bukan Talisha namanya jika menurut. Seperti sekarang ini, ia sudah memantapkan diri untuk membuat Rangga jatuh cinta padanya. Inilah saatnya Rangga menjadi miliknya.

Rangga masih berdiri di sisi lain lapangan sambil tertawa melihat kedua siswa kelas dua belas itu bertingkah seperti ayam. Sekarang adalah kesempatan untuk Talisha. Ia menutup matanya, menghirup nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

"Kamu harus jatuh cinta sama aku," kata Talisha pelan.

Ia tidak perlu berteriak sampai didengar targetnya untuk bisa mempengaruhi mereka. Bahkan mengatakannya dalam hati pun bisa. Ia hanya perlu fokus dan mengatakan apa yang ia inginkan sebagai mantra.

Kepulan asap merah muda memenuhi lapangan. Sekarang Talisha hanya tinggal menunggu Rangga datang padanya dan menyatakan cinta. Membayangkannya saja sudah membuat jantungnya berdegup kencang.

Satu menit berlalu.

Dua menit.

Tiga menit.

Rangga masih terlihat sibuk membereskan kegaduhan di lapangan. Tidak ada tanda-tanda ia ingin mendekat.

Kenapa dia belum ke sini, batin Talisha. Seharusnya efek mantranya tadi bekerja cepat. Apakah ia kurang fokus?

"Talisha! Talisha liat itu."

Talisha terlalu memikirkan Rangga sampai tidak sadar Jini sejak tadi menyenggol sikunya menunjuk lelaki yang sekarang berdiri di sisi mereka. Gio!

Talisha bingung. Kenapa Gio tiba-tiba di sini. Seingatnya tadi ia di sisi lain lapangan tak jauh dari Rangga.

Talisha tiba-tiba membeku.

Gio tadi berdiri tidak jauh dari Rangga!

"Talisha aku mau ngomong sesuatu," katanya sambil menunduk malu.

"Ngomong apa? Di sini aja," kata Talisha jutek. Ia sedang malas meladeni lelaki aneh ini.

Gio tampak ragu sejenak. Ia memainkan jemarinya, terlihat begitu gugup.

"Aku …," katanya terdengar gemetar.

Talisha bahkan tidak memperhatikannya, ia memilih melihat Rangga yang menurutnya lebih sedap dipandang.

"Aku cinta kamu," kata Gio yang hampir membuat Talisha tersedak.

Bersambung.