"Septi Adelia! Dari mana saja kamu! Bukankah sudah sering ayah katakan, kamu seorang wanita tidak pantas pulang larut malam!"
Bentakan lelaki paruh baya – Adam, ayah kandungnya sudah menyambut kepulangannya dengan amarah. Septi diam. Dia sudah lelah tak ingin lagi berdebat.
“Septi capek, Yah, mau istirahat.” Septi berniat langsung masuk ke dalam kamarnya. Dia ingin segera mandi dan segera tidur agar rasa lelah di tubuhnya segera hilang.
“Septi! Ayah belum selesai bicara. Duduk kamu di situ!” bentak Adam sambil menunjuk kursi kayu yang mulai rapuh diruang tamu. Dia emosi tak terima karena merasa Septi mengacuhkannya.
“Apalagi, Ayah! Septi capek,” keluh Septi. Dia kemudian duduk di kursi sesuai perintah ayahnya meskipun terpaksa.
“Dari mana kamu!” Adam mengulangi pertanyaannya. Dia menatap tajam Septi sambil berkacak pinggang.
“Kerja Ayah, kerja! Harus berapa kali Septi bilang sama Ayah kalau Septi itu kerja! Dan lagi apa Ayah lupa, kalau Septi kerja itu karena Ayah ... karena hutang-hutang Ayah yang kalau tidak di bayar akan membuat kita kehilangan rumah ini ,” jawab Septi panjang lebar. Dia sudah muak sekarang. Ayahnya seolah tak sadar, jika penyebab dia selalu pulang larut malam adalah hutang-hutang ayahnya yang mengakibatkannya harus bekerja tanpa mengenal waktu.
Septi benci jika harus mengingat hutang-hutang ayahnya yang selalu berhasil membuatnya merasa tertekan.
Jujur Septi tak rela jika harus kehilangan rumah yang memiliki banyak kenangan di dalamnya. Terutama kenangan bersama almarhum ibunya. Ibunya yang selalu menyayangi dirinya tidak seperti ayahnya. Begitulah yang ada dipikiran Septi.
“Kamu selalu saja bilang kerja, kerja, dan kerja! Hutang-hutang ayah selalu kamu jadikan alasan. Jangan kamu kira ayah tidak tahu kalau sedang di luar waktu kamu hanya dihabiskan untuk pacaran dengan lelaki tidak berguna itu!” tuduh Adam tak peduli perasaan putrinya.
“Deg!”
Seketika jantung Septi seolah berhenti berdetak. Tega sekali ayahnya menuduh dia seperti itu. Kerja kerasnya sama sekali tidak dianggap. Sungguh Septi merasa miris karena memiliki seorang ayah yang sama sekali tidak pernah menghargai kerja kerasnya dalam mempertahankan rumah mereka.
“Tuduh Septi sesuka hati Ayah. Septi tidak peduli! Tapi, Ayah harus ingat satu hal. Lelaki yang Ayah bilang tidak berguna itu adalah orang yang selalu membantu Septi agar bisa membayar hutang-hutang Ayah!” ucap Septi marah. Dia tak terima jika pacarnya 'Gerry Yohanes' lelaki yang rela melakukan apa saja dan membantu masalah keluarganya dihina oleh ayahnya.
Septi tak habis pikir. Dengan tega ayahnya mengatakan waktunya di luar hanya dihabiskan untuk pacaran. Apa karena dia bekerja di tempat pacarnya? Padahal bisa dibilang karena terlalu sibuk bekerja Septi dan Gerry hampir tidak pernah menghabiskan waktu bersama untuk menikmati masa-masa pacaran. Sebaliknya mereka hanya menghabiskan waktu bersama untuk merintis bisnis pakaian yang baru saja ditekuni Gerry untuk membangun kembali usahanya yang telah hancur karena perbuatan orang tak bertanggung jawab.
“Sudahlah, muak sekali ayah mendengar kamu selalu membela orang itu. Dia dan keluarganya memang sudah tidak berguna semenjak mereka sudah tidak punya apa-apa. Kekayaan hasil korupsi saja dibanggakan!” cibir Adam semakin membuat telinga Septi panas.
“Cukup, Ayah. Semua itu hanya fitnah,” ucap Septi membela Gerry.
“Sudahlah, jangan bahas dia lagi. Ayah muak!” ujar Adam. “Ada hal penting yang ingin ayah bicarakan sama kamu. Ayah sudah mendapatkan jalan agar hutang-hutang ayah kepada Tuan Andreas lunas dan kamu tidak perlu merasa terbebani lagi. Kita mempunyai kesempatan agar rumah yang banyak menyimpan kenangan tentang ibu ini tetap menjadi milik kita, Septi!” ucap Adam penuh semangat. “Tapi, tentu saja semua itu ada syaratnya,” lanjut Adam tiba-tiba memasang wajah lesu. Mencoba mengiba di hadapan putrinya.
“Apa syaratnya, Yah?” Septi jadi penasaran. Ada rasa curiga dihatinya.
“Syarat agar hutang ayah dianggap lunas oleh Tuan Andreas adalah ... kamu harus bersedia menjadi istri dari putranya," ucap Adam tanpa beban. "Dan kamu tahu ... ayah sudah setuju dengan persyaratan yang diberikan Tuan Andreas. Jadi, satu minggu lagi setelah anak Tuan Andreas kembali ke kota ini, kalian akan langsung menikah,” jelas Adam tanpa memikirkan perasaan putrinya.
Bagi Adam sekarang yang terpenting adalah melunasi hutang-hutangnya dan bisa hidup dengan tenang. Persetan dengan perasaan putrinya. Adam yakin jika nanti setelah Septi menikah hidup putrinya akan menjadi lebih baik dibanding sekarang.
“Ayah, Septi tidak mau!" tolak Septi dengan nada penuh emosi. Dia tak mengerti dengan jalan pikiran ayahnya.
"Ayah tidak perlu persetujuan kamu, Septi! Keputusan ayah sudah bulat. Kamu akan menikah dengan putra Tuan Andreas!" tegas Adam.
"Ayah tega menukar Septi dengan hutang-hutang ayah?" tanya Septi dengan mata mulai berembun. Sakit sekali hatinya.
"Tentu saja. Itu demi kehidupan kita agar tidak terlilit hutang!" ujar Adam tanpa beban.
"Ayah, Septi yakin suatu saat bisa melunasi hutang-hutang Ayah tanpa harus menikah dengan anak Tuan Andreas!” ucap Septi dengan yakin. Septi tidak bisa membayangkan apa yang akan Gerry pikirkan jika tahu dirinya dijodoh dengan putra Tuan Andreas sebagai syarat agar hutang-hutang ayahnya lunas.
“Ini sudah menjadi keputusan ayah. Suka atau tidak kamu harus menerima ini!” tegas Adam tanpa bisa dibantah.
"Septi sudah punya Gerry, Ayah! Jadi, jangan paksa Septi untuk menikah dengan lelaki yang Septi saja tidak kenal. Mengapa Ayah tidak memikirkan perasaan Septi dan Gerry!" Tanpa bisa ditahan lagi, akhirnya Septi menangis.
Ayahnya sudah sangat keterlaluan tega menjodohkannya hanya demi bahan pertukaran dengan hutang-hutangnya. Setidak berharganya itukah dia di mata ayahnya! Sungguh Septi semakin merasa kecewa dengan lelaki paruh baya yang membuatnya seolah lupa akan arti bahagia.
"Persetan dengan lelaki tidak berguna itu Septi! Semua yang ayah lakukan demi kamu dan tentu saja demi diri ayah sendiri. Setelah kamu menikah dengan putra Tuan Andreas kita tidak perlu merasakan kesusahan lagi. Paham kamu?" Adam berusaha memberikan Septi pandangan tentang kehidupan tanpa kesulitan ekonomi setelah menikah dengan salah satu putra orang terkaya di kota-nya.
"Itu bukan demi Septi, Ayah! Tapi, demi diri Ayah sendiri. Mengapa Ayah sangat egois!" sergah Septi masih terus menangis. Dadanya sakit sekali menahan luka batin yang telah ayahnya torehkan.
"Terserah kamu mau menilai ayah seperti apa! Keputusan ayah sudah bulat. Minggu depan kamu akan menikah dengan putra Tuan Andreas. Keluarga mereka sudah mempersiapkan semuanya. Jadi, segera akhiri hubungan kamu dengan lelaki itu. Jangan buat ayah merasa malu. Paham kamu!" ucap Adam memperingati. Adam sama sekali tak peduli perasaan Septi. Setelah puas mengutarakan keputusannya lelaki paruh baya itu pergi keluar rumah, meninggalkan Septi dengan segala kesedihannya. Dia ingin bersenang-senang karena sudah merasa terbebas dari hutan piutang yang selama ini tidak pernah membuat bisa tidur dengan tenang.
"Ibu! Ayah, jahat sama Septi! Septi benci ayah!" teriaknya melampiaskan rasa sesak di dadanya. Septi menutup wajahnya dengan kedua tangan karena keputusan ayahnya membuat dia tak bisa berhenti menangis.
Bersambung....
