JoyNovel

Mari Baca dan Kenali Dunia Baru

Buka APP
Pesona Sepupuku

Pesona Sepupuku

Penulis:Finacu Windarii

Tamat

Pengantar
Berawal dari kisah satu malam, mengakibatkan masalah yang datang silih berganti tiada henti. Ara, seorang gadis yang selalu bergelimang harta dan penuh kasih sayang, harus menerima sakit hati dari perbuatan ibunya di masa lalu. Akankah gadis itu bertahan dengan segala cobaan, atau malah memilih mengakhiri hidup sebagai tujuan pengakhiran ujian?
Buka▼
Bab

Bab 1

Dinginnya cuaca malam terabaikan oleh kami yang sedang di ujung kenikmatan. Semakin larut, semakin berpeluh pula tubuh ini. Hingga menjelang Subuh, kami kelelahan. Aku dan lelaki ini pun memilih untuk terlelap.

**

Senin, 20 Mei.

Pagi ini aku telah bersiap untuk pergi sekolah. Hari ini, seluruh sekolah mengadakan Ujian Nasional. Seluruh peralatan ujian telah lengkap di dalam tas. Sebelum berangkat, aku berpamitan pada Mama dan Papa. Mencium punggung tangan mereka dengan takzim.

Dua puluh menit berlalu, aku pun sampai di sekolah. Kuparkirkan kuda besi pink ini di parkiran sekolah. Aku memasuki kelas sesuai dengan nomor di kartu ujian. Duduk sambil membaca-baca buku pelajaran yang nantinya akan diujiankan.

Tak berapa lama, bel berbunyi. Seluruh siswa berbondong-bondong masuk ke kelas. Sebelum ujian dimulai, kami semua berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Aku berdoa supaya diberikan kelancaran dalam menjawab soal-soal ujian hari ini.

Selesai berdoa, pengawas pun membagikan kertas soal dan lembar untuk jawaban. Aku mulai mengisi kolom bagian nama. Lalu setelah itu membaca pertanyaan ujian.

Ketika telah sampai di nomor lima belas aku hendak melingkari jawabannya. Namun, tiba-tiba perutku mual dan kepala pusing. Tak tahan lagi menahannya, aku izin ke toilet. Seluruh isi perut yang tadi pagi kuisi, kini keluar semua.

Aku pun kembali ke kelas karena rasa mualnya sedikit berkurang. Namun, ketika hendak membaca soal ujian, mual itu datang lagi. Aku langsung berlari ke toilet karena takut akan keluar di dalam kelas isi perut ini. Sampai di toilet aku muntah-muntah lagi.

Kejadian bolak balik ke toilet sudah ada sepuluh kali kulakukan. Hingga rasanya tenggorokan sakit, kepala semakin terasa berat.

“Kamu kenapa?” tanya salah satu pengawas wanita.

Aku tak sanggup lagi menjawab. Kutangkupkan wajah di atas meja. Tubuh terasa lemas, seketika seperti tiada lagi tenaga untuk sekadar bicara.

“Ara, kamu kenapa? Kamu sakit, ya?” Lita mengangkat kepalaku.

“Ya, ampun. Mukamu pucat gini,” ujar Lita panik.

“Ya, udah. Kalau kamu sakit dan nggak kuat lagi. Mending kamu izin aja dulu, ya. Istirahat dulu di rumah.” Pengawas wanita itu tampak membereskan peralatan ujianku.

“Antar dia pulang, ya, pakai mobil saya!” seru pengawas pria yang satunya.

“Hei! Sini, ayo bantu saya bawa dia ke mobil,” sambungnya lagi meminta bantuan.

Tak berapa lama teman cowok yang lain membopong ke mobil pengawas itu. Mobil pun meluncur. Aku ditemani oleh Lita di dalam mobil. Tangannya memijit-mijit pelan kepalaku.

Kepala ini terasa berat sekali. Seperti tertimpa batu seratus kwintal. Aku tidak tahan lagi menahannya. Hingga akhirnya aku ....

**

Mataku terbuka perlahan. Terlihat dinding serba pink, seperti dinding kamarku. Bau minyak angin menyeruak di kamar ini. Ketika aku hendak duduk, kepala ini terasa seperti berputar-putar.

Kulihat Mama sedang duduk di tepi ranjang.

“Sudah sadar kamu, Ra?” tanya Mama.

“Loh, kok aku udah ganti baju, Ma?”

“Iya, tadi Mama yang gantiin. Pas dianter sama Lita tadi kamu udah pingsan. Terus Lita minta maaf juga nggak bisa nemenin kamu, katanya. Dia harus kembali ke sekolah untuk ujian,” tutur Mama.

Perutku terasa bergejolak lagi karena aroma minyak angin ini. Aku mencoba untuk berdiri. Namun, sia-sia. Aku terjatuh lagi karena masih pusing.

Mama langsung nolongin aku yang hampir jatuh. Setelah itu aku keluarkan isi perut ke samping tepat tidur, tepat di lantai. Melihat itu, Mama langsung berlari keluar kamar. Ia kembali dengan membawa plastik berukuran sedang dan menyuruhku untuk membuangnya ke situ.

Aku terus saja muntah, sampai yang keluar hanya cairan berwarna kuning. Itu terasa pahit dan tenggorokan juga sakit. Mama membawakan segelas air putih hangat. Aku meneguknya hingga tiga kali tegukan. Terasa hangat dari kerongkongan hingga perut setelah minum.

“Kamu makan dulu, ya. Abis tu minum obat. Sepertinya kamu masuk angin.”

Mendengar kata makan dan membayangkan bentuk nasi, aku kembali muntah.

“Ma, tolong jangan sebut makan atau nyuruh aku makan. Membayangkan nasinya rasa mual.”

“Jadi gimana kamu mau minum obat kalau nggak makan dulu?”

“Makan buah aja deh, Ma. Keknya seger gitu.”

“Ya, udah. Mama ambilin dulu di dapur, ya.”

Aku hanya mengangguk seraya menatap punggung Mama yang keluar dari kamar.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Seharusnya awal bulan kemarin aku sudah kedatangan tamu bulanan. Namun, mengapa sampai akhir bulan ini tak kunjung muncul juga. Ya, Tuhan, apa jangan-jangan? Aku menutup wajah dengan kedua tangan.

Oh, tidak! Aku masih ingin melanjutkan sekolah lalu kuliah.

“Ara! Kamu kenapa? Nih udah Mama bawain buah-buahannya.” Aku tersentak ketika mengetahui Mama telah kembali.

Aku membuka wajah perlahan. Kuubah raut wajah agar tidak terlihat cemas dan takut. Lalu duduk dan memakan beberapa buah. Setelah itu minum obat yang dibawa Mama.

“Muka kamu kok makin pucat banget, Ra?”

“Enggak apa-apa, Ma. Ntar juga udah baikan, kok,” ucapku berdusta.

Tiga hari berlalu, tapi mualku tak kunjung mereda. Tidak ada satu pun makanan yang bisa kumakan. Namun, pusingnya sudah mulai hilang.

Kuputuskan hari ini untuk ke apotek membeli tespeck. Semoga hasilnya negatif. Sore ini aku bersiap-siap untuk ke apotek di dekat lampu merah simpang tiga.

Setelah sampai di tujuan, aku langsung menuju meja kasir untuk meminta alat yang kucari. Setelah mendapatkannya, aku membayar dan langsung pulang.

“Dari mana, Ra?” tanya Mama ketika aku baru sampai dan membuka helm. Aku hampir terlonjak karena kaget.

“Eh, Mama! Ngagetin aja, sih.”

“Heleh, masa gitu aja kaget. Lebay! Oh, ya, emang kamu udah sembuh? Kok udah keluar rumah?”

“Eng ... anu, Ma.” Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. “Tadi mau beli masker mata, tapi nggak ada,” sambungku.

“Oh, ya, udah kamu istirahat dulu. Kan belum sembuh total.” Aku hanya menjawab dengan anggukan.

Aku berjalan gontai menuju kamar dan langsung menyimpan yang kubeli tadi. Lalu merebahkan tubuh di kasur. Terasa lemas sekali tubuh ini seperti tidak punya darah dan semangat hidup. Perlahan-lahan mata terasa berat dan kuputuskan untuk tidur.

Tak berapa lama aku tidur, sepertinya ada suara yang memaksaku untuk bangun.

Tok! Tok! Tok!

“Ara! Bangun, Nak.”

“Ara! Kamu tidur, ya?”

Sepertinya ada yang memanggilku dari luar. Perlahan kubuka mata yang masih ngantuk.

“Ara!”

Tok! Tok! Tok!

Dengan malas kulangkahkan kaki membuka pintu.

“Apa, Ma?”

“Makan, yuk! Mama udah masak sayur kesukaan kamu,” ajak Mama.

Mendengar kata makan, seolah perutku terasa ada yang guncang. Aku berlari menuju wastafel dan muntah sejadi-jadinya. Ternyata Mama nyusul dari belakang dan memijat-mijat tengkukku dengan pelan.

Setelah selesai muntah, rasa mual itu sedikit berkurang. Aku menatap Mama dengan sangat lemah.

“Ma, kan udah kubilang jangan nyebut kata makan atau nyuruh makan gitu. Aku langsung mual.”

“Ya, udah, iya-iya. Sekarang istirahat aja dulu. Mau mama buatkan teh hangat?” tanya Mama sembari mengusap pelan lenganku.

“Boleh, Ma. Tapi jangan yang manis, ya. Kalau bisa agak pahit aja.” Aku langsung berlalu masuk kamar lagi.

Beberapa menit kemudian, Mama datang dengan membawa segelas teh dan roti bungkusan di atas nampan.

Aku menyeruput teh hangat yang masih mengepul. Sakit ini sungguh menyiksa. Mengapa tubuh ini begitu lemah. Terasa seperti mayat hidup.

Kulirik jam weker di atas nakas, masih pukul 20:30. Sekarang selain gampang mual dan pusing, aku juga cepat mengantuk. Penyakit apa sebenarnya ini? Sudahlah, sebaiknya aku tidur dulu malam ini. Semoga besok pagi sudah membaik.

Aku tertidur tanpa makan apa pun lagi.

**