JoyNovel

Mari Baca dan Kenali Dunia Baru

Buka APP
MAHARKU MURAH KOK

MAHARKU MURAH KOK

Penulis:Nurul Azkiya

Tamat

Pengantar
Menikah dan memiliki keturunan adalah sebuah fase dalam perjalanan hidup yang dinantikan oleh para remaja yang tengah menginjak usia dewasa dan juga para orang tua tentunya. Namun terkadang bentangan adat dan budaya yang dianut, serta pola pikir orang tua yang belum terbuka, menjadikan pernikahan menjadi sebuah momok yang menyeramkan bagi pihak laki-laki. Orang tua tak kan rela melepaskan anak gadis kesayangannya kepada lelaki yang tak jelas bibit, bebet dan bobotnya. Bagi mereka, hanya menantu yang datang dari keluarga terpandang dengan status sosial yang tinggi, yang pantas dijadikan menantu di dalam keluarga mereka. “Pak, sampai kapan Bapak terus-terusan menolak laki-laki yang datang melamar Amara? Mara juga ingin menikah seperti anak-anak gadis yang lain, Pak. Apa Bapak mau kalau Amara jadi perawan tua?” Ucapan dengan nada tinggi diiringi isak tangis Amara tak terbendung lagi. Tatkala sang ayah menolak mentah-mentah lelaki yang datang ingin melamarnya, hanya karena si lelaki berasal dari keluarga sederhana dan berprofesi sebagai guru honorer. Airlangga Dewantoro, lelaki yang secara tiba-tiba menyeruak masuk dalam kehidupan Amara Putri Pranoto. Meski latar belakang Airlangga belum diketahui dengan jelas, namun panah cupid telah tertancap hingga menyentuh relung hati Amara yang terdalam. Apakah Airlangga adalah lelaki yang mampu menaklukkan hati Pak Sugeng Pranoto, ayah dari Amara? Ataukah nasib Airlangga akan sama dengan lelaki-lelaki terdahulu?
Buka▼
Bab

Terlahir dari keluarga terpandang dengan status sosial yang bergengsi adalah anugerah dan keberuntungan bagi kebanyakan orang. Namun hal ini tidak berlaku bagi seorang Amara Putri Pranoto.

Menjadi putri seorang konglomerat terkenal dengan harta berlimpah justru menjadi penjara tak berbatas bagi seoran Amara. Jangankan untuk pacaran, untuk berteman saja ia diharuskan pilih-pilih orang alias selektif.

Doktrin keluarga yang telah mendarah daging, membuat Amara tumbuh menjadi gadis pemberontak dan suka melawan jika tak sesuai dengan kata hatinya. Namun begitu, sesungguhnya Amara adalah gadis yang sopan dan ramah kepada siapapun. Tetapi ketika apa yang menjadi keinginannya ada yang menghadang, maka Amara tak akan segan untuk mengaum bak singa betina yang sedang kelaparan.

--Di acara akad nikah di kediaman keluarga Baskoro Hendarso--

"Ya ampun Tami, kamu cantik banget. Aku sampai pangling ga ngenalin kamu." Ucap Amara yang takjub melihat sahabatnya Utami Hendarso yang hari ini akan melangsungkan akad nikah di kediaman orang tuanya.

Tami

panggilan akrab Utami

adalah sahabat Amara. Mereka bersahabat sejak kecil. Kedekatan mereka awalnya terbangun karena kesamaan background keluarga dan tumbuh di lingkungan yang sama-sama anak orang kaya dan berpengaruh.

"Ayo kapan kamu nyusul Mara?" Tami mulai menggoda Amara yang hari itu terlihat sangat cantik dengan kebaya modern berwarna ungu salem dan jilbab warna senada. Tak lupa, wajah ayu Amara hari ini pun terlihat berbeda karena polesan make up natural hasil karya MUA ternama.

"Nyusul apaan? Nyusul dijodohkan juga kayak kamu? Ihh... Ogah banget." Jawab Amara agak sewot sembari mencebikkan bibirnya yang mungil.

"Sudahlah Mara, sejauh apapun kita berlari, keluarga kita punya segalanya. Mereka punya banyak mata-mata. Seolah dinding-dinding bertelinga dan pintu-pintu bermata."

"Kamu lihat sendiri kan bagaimana upayaku dulu. Aku sudah susah-susah lari dari rumah, tetap saja ayahku tahu dimana aku sembunyi."

Utami mencurahkan isi hatinya kepada sahabat seperjuangannya itu. Tersirat ada nada kecewa dan putus asa dalam setiap tutur katanya.

Memakai barang-barang branded, kemana-mana diantar mobil mewah dan dikawal bodyguard berbadan tegap, dan kartu ATM yang tak pernah berkurang saldonya, bukanlah jaminan hidup bahagia seperti kata banyak orang-orang selama ini.

Amara dan Utami adalah bukti sunyi di tengah keramaian. Mereka adalah fatamorgana di tengah kepalsuan.

Mereka merasakan haus akan kasih sayang orang tua yang sesungguhnya dan rindu bagaimana kebahagiaan yang sejati itu. Karena selama ini yang mereka tampilkan hanyalah sebuah fatamorgana semu.

"Enggak Tam, aku tuh yakin kalau aku bisa bahagia dengan lelaki pilihanku sendiri. Bukan dengan lelaki pilihan Bapakku yang seperti boneka jadi-jadian, yang tahunya hanya nodong orang tuanya dan hidupnya cuma buat foya-foya."

"Pokoknya aku yakin, aku bisa bahagia nanti." Amara menatap langit-langit sambil menerawang ke atas.

"Ya sudah Mara, kalau tekadmu sudah bulat, sebagai sahabat aku pasti akan mendukungmu." Keduanya pun berpelukan saling menguatkan dalam keterpaksaan.

"Mara, ngomong-ngomong kamu ga ingin mencuri bunga pengantinku? Kata orang kan kalau nyolong bunga pengantin kan bisa cepat ketemu jodoh. Hehehehe."

Mendengar penuturan sahabatnya, spontan Amara langsung melepaskan pelukannya dan agak menjauhkan badannya.

"Amit-amit, daripada nyolong cuma kembang secuil, mending aku bawa pulang tuh kembang sekalian sama vas-vasnya juga."

"Kok masih percaya saja sama mitos kuno itu sih Tam?" Seru Amara sambil menepok jidatnya yang kemudian diikuti dengan tawa renyah Utami.

"Hahahaha."

Tak lama berselang, Bu Gayatri

ibunda Utami

pun datang masuk ke dalam kamar tidur tempat Amara dan Utami bercengkerama. Kamar tidur Utami juga sekalian berfungsi sebagai kamar pengantin, maka tak heran jika kamar tidur itu kini telah dipenuhi beraneka ragam bunga, mulai dari mawar hingga melati. Semerbak bunga di dalam kamar itupun memenuhi rongga hidung siapa saja yang masuk ke dalamnya.

Tok tok tok

"Tami..." Panggil Bu Gayatri dari luar kamar.

"Iya Bu, silakan masuk." Sahut Utami dari dalam kamar.

CEKLEK

Bu Gayatri masuk ke dalam kamar dengan senyum yang sumringah. Perempuan setengah baya ini terlihat sangat anggun dengan balutan kebaya berwarna gold. Dengan rambut disanggul sederhana dan polesan make up flawless, kecantikan Bu Gayatri semakin terlihat mempesona.

Layaknya perempuan-perempuan dari kalangan atas, kulit Bu Gayatri terlihat kuning langsat dan bersinar. Menandakan bahwa si empunya rajin merawat kulit agar sehat dan terlihat indah.

"Ayo kita turun ke bawah Tami, mempelai laki-laki dan keluarganya sudah datang di bawah." Ajak Bu Gayatri dengan ramahnya.

Mendengar ajakan Bu Gayatri, refleks Amara pun menggenggam jemari tangan Utami sambil berbisik, "Semoga lancar ya, Bismillah."

Bisikan Amara dibalas dengan senyuman indah dari bibir milik Utami.

"Makasih Amara sayang. Aku deg-degan nih. Hufttttt…" Balas Utami.

Sambil mengepalkan tangan, Amara pun memekik.

"Semangatttt."

Melihat tingkah dua anak gadis ini, Bu Gayatri hanya tersenyum. Ia pun pernah muda dan ia juga pernah melewati masa-masa yang seperti anaknya alami sekarang.

Pernikahannya dengan sang suami Pak Baskoro Hendarso adalah hasil dari perjodohan keluarga. Dari pernikahan ini, keduanya telah memiliki dua orang anak, yaitu Faisal Hendarso

adalah kakak Utami

dan Utami Hendarso.

Berasal dari keluarga yang sama-sama memiliki darah biru dan konglomerat terkenal adalah sebab terjadinya pernikahan antara Pak Baskoro dan Bu Gayatri.

Alhasil, hal serupa pun terjadi pada anak mereka. Utami harus menerima kenyataan bahwa dirinya akan dijodohkan dengan anak dari salah seorang kolega bisnis sang ayah yang sama-sama anak dari keluarga terpandang juga.

Sambil menjabat tangan mempelai laki-laki, Pak Penghulu pun mulai mengucapkan lafadz Ijab.

"Saya nikahkan dan kawinkan ananda Ardian Prawiranegara bin Sulaiman Prawiranegara dengan Utami Hendarso binti Baskoro Hendarso dengan mas kawin berupa logam mulia seberat 10 kilogram dan seperangkat alat sholat, Tunai."

Dan ijab pun dijawab dengan qobul.

"Saya terima nikah dan kawinnya Utami Hendarso binti Baskoro Hendarso dengan mas kawin berupa logam mulia seberat 10 kilogram dan seperangkat alat sholat, Tunai."

Ardian, lelaki yang kini resmi menyandang status sebagai suami dari Utami, telah mengucapkan lafadz qobul dengan lancar, hanya dengan satu tarikan nafas.

"Sah?" Penghulu bertanya kepada para saksi yang duduk di sebelah kanan dan kirinya.

Dan para saksi pun serempak berkata, "Sah."

"Alhamdulillah."

Para tamu yang hadir pun bersamaan mengucap hamdalah tanda syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas pernikahan yang merupakan janji sehidup semati dua anak manusia kepada Sang Maha Pencipta.

Terlihat di deretan keluarga, nampak Bu Gayatri dan Pak Baskoro tersenyum penuh arti. Bangga karena anak perempuan satu-satunya telah menikah dan puas karena lelaki terpilih yang menjadi menantunya juga dari keluarga terhormat dan terpandang.

Setelah proses akad nikah, seorang ustadz yang mengenakan baju koko berwarna putih membacakan do’a untuk kedua mempelai. Doa ini dipanjatkan agar pasangan suami istri yang sudah sah ini dapat menjalani kehidupan yang harmonis, saling menjaga satu sama lain.

“Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.”

Artinya: mudah-mudahan Allah memberkahimu, baik dalam suka maupun duka dan selalu mengumpulkan kamu berdua pada kebaikan.

Kemudian dilanjutkan dengan mempelai laki-laki

Ardian

sambil memegang ubun-ubun istrinya

Utami

membacakan do’a keberkahan dan keselamatan.

"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."

Artinya: Ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.