JoyNovel

Mari Baca dan Kenali Dunia Baru

Buka APP
The Real Snow Wife

The Real Snow Wife

Penulis:Alodie Camila

Tamat

Pengantar
Vania, gadis korban kecelakaan maut bersama keluarganya yang sempat mengalami koma beberapa minggu di rumah sakit akhirnya diselamatkan dan dirawat oleh Ratri dan Farhan (sahabat kedua orang tuanya). Gadis itu sangat terpukul saat mengetahui bahwa orang tuanya telah tiada. Begitupun adik laki-lakinya, Vano yang sampai detik ini masih belum ditemukan. Akhirnya mau tidak mau Vania harus menuruti permintaan Ratri dan Farhan untuk tinggal bersama mereka. Ia juga terpaksa menuruti keinginan mendiang ibu dan Tante Ratri untuk menikah dengan Rey Atmaja, putra tunggal Tante Ratri yang akhirnya menjadi awal mula pernikahan kontrak di antara keduanya. Bagaimanakah kelanjutan kisah keduanya? Apakah antara Rey dan Vania akhirnya muncul benih-benih cinta? Lalu bagaimanakah nasib Clarissa, kekasih Rey yang sudah sejak lama akan dinikahinya? Lantas, siapakah yang akan bertahan menjadi 'The Real Snow Wife' di hati Rey Atmaja?
Buka▼
Bab

"Papa, cepetan dikit dong bentar lagi acara wisudanya Kak Vania udah mau dimulai, nih," ucap Vano sembari melirik jam tangan di balik jas hitamnya.

Jarum pendek jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi sementara setengah jam lagi acara wisuda akan dilaksanakan. Sementara perjalanan mereka menuju ke graha membutuhkan waktu sekitar satu jam.

"Iya, sabar. Ini juga udah cepetan," sahut Pak Hermawan.

Lelaki berusia 45 tahun itu mulai mempercepat laju mobilnya. Jalanan agak licin karena semalaman hujan mengguyur daerah tersebut. Hingga sesekali hawa dingin menyeruak masuk ke sela-sela ventilasi mobil mereka.

"Papa, pelan-pelan aja. Jalanan licin. Vania nggak apa-apa kok agak terlambat sedikit, asal kita sampai dengan selamat," pinta gadis berbaju kebaya warna merah muda yang dirangkapi toga hitam.

"Iya, Pa, yang penting kita selamat," sahut Bu Irma mengelus pundak lelaki yang duduk di sampingnya.

Lelaki yang sejak tadi duduk di kursi kemudi itu terus melajukan mobil tanpa mempedulikan perintah istri dan anak perempuannya. Tidak bisa dipungkiri kalau Pak Hermawan sangat menantikan momen ini. Momen dimana Vania, putri sulungnya akan diwisuda di Universitas Antariksa. Ia sudah bersiap untuk melambaikan tangan di sayap kanan saat putrinya berjalan di panggung, lantas melihat gadis belia itu menjabat tangan rektor universitas dengan senyum manis. Lelaki bertubuh tegap itu juga tidak sabar saat Vania diumumkan lulus dengan pujian atau cumlaude. Ya, itu adalah salah satu kebanggaan orang tua saat anaknya mendapat penghargaan sebagai mahasiswa berprestasi.

"Papa awas, Pa!" teriak Vania yang sejak tadi meremas jok mobil.

"Tenang, papa sudah ahli. Kita akan sampai tepat waktu," sahut Hermawan sembari tersenyum melirik putrinya dari kaca depan.

Mereka semua tampak ketakutan meski sudah memakai sabuk pengaman. Sementara Pak Hermawan kembali menggeser jarum di spidometer mobilnya ke kanan hingga jarum itu semakin naik di angka 110km/jam.

"Aaaaaaagh ... aaaaaaagh ...." teriak semua orang yang ada di dalam mobil seolah menaiki wahana roller coaster.

Mobil sedan hitam buatan Jepang itu mulai hilang keseimbangan dan oleng ke kanan hingga menabrak pembatas jalan. meski Pak Hermawan sudah menginjak rem begitu cepat namun kecelakaan tak dapat dihindarkan.

Sraaaaaaak ... Bruaaaaaaaak!!!

Hanya dalam hitungan detik mobil yang ditumpangi keluarga Pak Hermawan terperosok dan jatuh ke dalam jurang.

"Papa ... Mama ... Va-Vano," ucap Vania lirih.

Darah segar mengucur dari dahi ke pipi Vania yang terbentur pintu mobil. Pandangannya semakin lama semakin redup. Hanya terlihat bayangan tubuh kedua orang tuanya yang terkulai lemas di jok mobil depan dengan darah yang membasahi wajah dan pakaian mereka. Pecahan kaca tampak berhamburan ke ke bagian dalam mobil. Sementara adiknya, Vano entah terlempar ke arah mana. Pintu dekat lelaki itu berada telah terbuka lebar. Perlahan penglihatannya terasa kabur hingga berubah menjadi gelap.

Setengah jam kemudian banyak orang berkerumun di sekitar tempat kejadian. Ada sekitar lima polisi mengevakuasi korban dan mengidentifikasi kronologi kecelakaan tunggal itu. Satu persatu korban dilarikan ke rumah sakit. Sementara mobil yang sudah ringsek parah itu mulai di angkat dengan bantuan crane hingga membuat kemacetan panjang di sekitar tempat kejadian.

****

Ruang IGD tampak ramai usai satu persatu korban kecelakaan diturunkan dari mobil ambulance. Tampak wanita paruh baya bersama suaminya berjalan tergopoh-gopoh mencari korban kecelakaan yang baru saja di pindah ke ruang jenazah dan ICU.

"Hermawan ..." teriak Ratri dengan mata membulat. Sementara suaminya mengelus pundak Ratri memberi ketenangan.

"Tenang, Ma. Irma dan Vania masih ada kemungkinan selamat," sambung Farhan.

"Permisi, keluarga ibu Irma," ucap dokter saat keluar dari ruang rawat.

"Iya, saya keluarga ibu Irma," ucap Ratri mendekat.

"Pasien sudah siuman, silahkan menemui beliau," pinta wanita berseragam putih dengan stetoskop menggantung di lehernya. "Tapi ibu harus sabar, karena kondisi pasien saat ini masih sangat lemah."

"Terima kasih, Dok," sahut Ratri.

Wanita bertubuh langsing dan pria bertubuh gemuk itu masuk ke ruang rawat. Di dalam ruangan tampak Irma yang tengah terbaring lemas di atas ranjang. Wajah dan sebagian tubuhnya dibalut dengan perban.

"Ra-ratri ... Fa-Farhan," ucap Irma perlahan seraya mengisyaratkan sepasang suami istri itu agar mendekat.

"Iya, Irma. Kamu istirahat saja. Tubuh kamu masih lemah," wanita berambut ikal itu berjalan mendekat, lalu mengelus dahi Irma.

"Ratri, su-surat," ucap Irma terbata-bata.

"Oh, Iya Irma. Aku masih menyimpan surat dalam botol itu," Ratri menggenggam jemari Irma. "Aku pasti mewujudkan keinginan kita."

"Titip Vania dan Va-Vano," mata Irma tampak sayu.

"Pasti aku akan menjaga mereka." Ratri tersenyum tipis sebelum melanjutkan perkataannya. "Ya, aku akan menjaga kalian semua. Kamu harus sembuh Irma, kamu harus kuat,"

"Ma-makasih, Ra-Ratri. Aku su ... dah tenang sekarang. Ma-maafkan aku." Perlahan jemari Irma terlepas dari genggaman Ratri.

"Irmaaaa ..." teriak Ratri seraya membeliakkan bola mata.

Ratri menggoyang-goyangkan tubuh Irma. Buliran bening itu semakin deras mengalir di pipinya seiring dengan detak jantung Irma yang semakin lama semakin melemah lalu menghilang.

"Innalillahi wa innailaihi roji'un, Aku nggak nyangka kamu harus pergi secepat ini, Irma," ucap Farhan lirih seraya menutup kedua mata jenazah Irma.

"Irma!" teriak Ratri sembari menutup kedua mulutnya sebagian. "Tidak mungkin, Irma ... Irmaaaa!"

Seorang perawat mulai menutup seluruh tubuh Irma. Teriakan Ratri yang terus memanggil-manggil nama 'Irma' kini tak bisa membuat ruh sahabatnya itu kembali ke raga.

"Papa, Irma. Irma meninggal, Pa?" tanya Ratri seakan tak percaya sahabatnya benar-benar telah tiada.

"Mama, kuat. Kita pasti bisa menghadapi semua ini." Farhan mengusap air mata yang terus membuncah di sudut-sudut mata sipit istrinya.

"Tidak mungkin Irma menyusul Hermawan, Pa." Kedua mata Ratri kembali memerah. Debit buliran sebening kristal itu bahkan semakin deras mengalir di pipinya yang sejak tadi sudah basah oleh air mata.

"Ikhlaskan kepergian mereka. Masih ada Vania, sekarang kita fokus untuk kesembuhan Vania, Ma." Farhan mengajak istrinya beralih ke ruang ICU tempat gadis belia yang kini sedang dalam perawatan dokter.

Dengan langkah lemas Ratri mengikuti ajakan suaminya. Ia masih tidak percaya sepasang sahabatnya itu kini telah tiada.

"Vania," Ratri menangis sesenggukan mengelus kaca bening yang membatasi mereka dengan pasien yang berada di ruang ICU.

Berbagai alat dipasang ke badan Vania. Ventilator yang di alirkan ke hidungnya dan beberapa alat medis juga dipasang ke badan Vania. Gadis itu tampak terkulai lemah belum sadarkan diri.

"Papa, Vania?" ucap Ratri.

"Vania pasti sembuh, Ma. Dia gadis yang kuat. Dia satu-satunya harapan kita untuk menjaga amanat Almarhumah Irma dan Almarhum Hermawan," sahut Farhan sembari mengelus rambut istrinya.

Hanya itu yang bisa menenangkan hati istrinya yang kini tengah berduka, meski dirinya juga bingung harus mengatakan apa setelah Vania sadar dari koma. Kehilangan sahabat adalah hal terberat dalam hidup Ratri, apalagi karena tragedi kecelakaan tragis yang merenggut nyawa sepasang sahabatnya.

"Dokter! dokter!" teriak Farhan saat melihat grafik di Monitor tempat Vania dirawat mendadak menunjukkan garis lurus.

Bersambung...