JoyNovel

Mari Baca dan Kenali Dunia Baru

Buka APP
Terjebak Gairah Tuan Pewaris

Terjebak Gairah Tuan Pewaris

Penulis:Shasadewa

Tamat

Pengantar
Bagi Aruna, Kanaka adalah hal terbaik dalam hidupnya, tetapi juga mimpi buruk. Sepuluh tahun yang lalu, kedua orang tua Naka dan ayah Aruna meninggal dalam kecelakaan pesawat. Rumor menyebutkan jika ayah Aruna adalah orang yang menyebabkan kecelakaan. Sejak hari itu, Naka membawa Aruna pulang ke rumahnya dan menjadikan Aruna sebagai sasaran kebenciannya. Semula Aruna berpikir Naka adalah orang yang baik, tetapi yang dia dapatkan hanyalah kebencian yang tak ada habisnya. Sepuluh tahun kemudian, pada hari Aruna berusia 18 tahun, dia diminta untuk bermalam bersama Naka. Lebih buruk lagi, teman-teman Aruna mematuhi Naka dan mengasingkannya. Aruna ingin meninggalkan Naka, tetapi dia tidak bisa. Dia menemukan fakta jika Naka membantu studi dan pekerjaannya. "Jika kamu membenciku, mengapa kamu melindungiku?" "Karena jika kamu hidup, kamu bisa menebus kesalahannya kepada ku!" Ya, hari itu, Aruna menyadari bahwa dia tidak akan pernah bisa lari dari Naka. Dan, semua ini, hanyalah permulaan. Pengen tahu kelanjutannya? Mari simak setiap partnya!
Buka▼
Bab

"Wow, Kanaka telah kembali ke Indonesia. Begitu dia kembali, dia langsung menyumbangkan banyak uang ke sekolah seni terbesar di Jakarta. Dia memang kaya!" tutur salah seorang mahasiswi cantik dengan rambut pirang.

Seorang lainnya dengan warna rambut hitam legam, panjang sebahu menganggukkan kepala, membenarkan. "Ya, kudengar dia lulus dari Universitas Tunas Bangsa juga. Bukan hal yang aneh baginya untuk menyumbangkan uang. Lagipula, dia adalah anak orang terkaya di negara ini."

"Lebih penting lagi, dia sangat tampan. Benar-benar seorang pangeran yang menawan. Dia juga memiliki hati yang sangat baik," imbuh perempuan pirang.

"Hem, kau benar. Dia juga memiliki banyak relasi dengan orang-orang ternama di dunia," Lanjutnya.

Berita tentang kembalinya Kanaka ke Indonesia dan segala tentangnya menyebar begitu cepat seantero ibu kota. Begitupun di tempat Aruna menimba ilmu saat ini, semua mahasiswa membicarakan tentang Kanaka. Mungkin hanya Aruna yang sepertinya tidak tertarik untuk mendengarnya.

Dia terlihat duduk dengan tenang di area tangga sambil memakan roti kukus yang sudah dingin dan keras, dengan minuman air mineral dingin.

"Kanaka, sudah tiga tahun dia pergi. Sekarang dia kembali lagi," gumamnya lirih.

"Runa, kenapa kamu makan roti kukus lagi? Gak bosen apa? Ayo pergi, aku akan mentraktirmu makan yang enak!" suara khas Tisa mengembalikan kesadaran Aruna. Tisa duduk di samping Aruna, memperhatikan mimik wajah temannya itu.

Aruna menggelengkan kepalanya dan tersenyum tipis, tangannya dengan cekatan memasukkan sisa roti ke dalam mulutnya. Dia berdiri dan mengambil tasnya yang tergeletak di sampingnya lalu mengenakannya. Tubuh Aruna terlihat semakin kurus. "Tidak ada waktu. Aku harus kembali."

Tisa menghela nafas panjang dan berkata, "Jangan makan roti kukus besok pagi. Aku akan membawakanmu sarapan!" ucapnya dengan volume suara yang tinggi agar temannya yang bergerak menjauh itu tetap bisa mendengar suaranya.

Suara Tisa berangsur-angsur menghilang bersama angin dingin pagi ini, saat sepeda Aruna bergerak semakin jauh.

Kembali ke rumah, dia dengan hati-hati memarkir sepeda lusuhnya di sudut halaman dan masuk melalui pintu belakang. Aruna kembali ke gudang sempit dan lembab, meletakkan ranselnya dan hendak melepas hoodienya.

Tepat ketika Aruna hendak melepas hoodienya, Bi Ida bergegas masuk. "Runa, jangan bantu aku hari ini. Tuan muda sedang mencarimu. Hati-hati. Jangan bicara jika tidak perlu. Jangan membuatnya tidak bahagia," pesan Ida.

Aruna menghela nafas. Sudah ia duga Naka pasti mencarinya. Aruna menganggukkan kepala, melangkahkan kakinya perlahan menaiki anak tangga ke lantai dua dengan hati-hati. Sebelum sampai di ruangan Naka, Aruna tak lupa merapikan rambut serta hoodie putihnya yang berantakan. Aruna ingat bahwa Naka tidak suka melihat hal-hal yang tidak rapi.

Aruna mengulurkan tangan untuk mengetuk pintu, tanpa sadar dia menahan napas, dan ujung jarinya sedikit bergetar. Dia tidak melihat Naka selama tiga tahun dan sekarang Naka sudah dewasa. Seberapa banyak dia telah berubah?

"Masuk." Sebuah suara sedingin es terdengar dari balik pintu. Jika seseorang tidak mendengarkan dengan seksama, dia tidak akan dapat mendeteksi sedikitpun rasa dingin di dalamnya.

Hatinya tenggelam. Aruna mendorong pintu terbuka secara perlahan dan melangkahkan kakinya masuk secara perlahan, ia sengaja tidak menutup pintunya kembali.

Pria itu duduk di kursi kebesarannya, menghadap ke luar jendela yang langsung ke arah taman, sementara tangannya memegang majalah. Jas mahal berwarna hitam dengan sentuhan abu-abu melekat pas pada tubuhnya yang atletis.

Bahkan saat duduk, kakinya terlihat panjang, jari-jarinya membalik halaman demi halaman majalah yang ia pegang. Lekuk wajahnya yang sesempurna pahatan, tampak tidak nyata di bawah pantulan cahaya.

Kanaka akhirnya kembali.

"Dalam setengah bulan, kamu akan berusia delapan belas tahun, kan?" Nada bicaranya santai, meninggalkan lubang yang dalam di hati Aruna.

Tanpa menunggu tanggapannya, dia melemparkan majalah itu ke atas meja kecil di sampingnya dan berbalik untuk menatap Aruna dengan mata dingin.

Aruna meneguk ludahnya susah payah, secara naluriah Aruna mundur dua langkah. Benar saja! Dia bisa bersikap lembut pada seluruh dunia, tapi tidak padanya!

"Ya," jawab Aruna singkat. Dia tampak ketakutan, wajahnya berubah menjadi pucat, mulutnya terkatup rapat.

Naka bangkit dari singgasananya, mengayunkan kaki jenjangnya ke arah Aruna. Setiap langkah yang Naka ambil membuatnya mundur ketakutan.

Naka terus maju, membuat langkah Aruna terus memundur hingga ia hampir tersandung pintu yang setengah terbuka. Naka dengan sigap melangkah maju dan menutup pintu di belakang telinga Aruna dengan sigap, menjebaknya di antara tubuhnya dan pintu.

"Apakah kamu takut padaku?" Ada sedikit olok-olok dan kebencian dalam suaranya.

Aruna sedikit menunduk, ia tidak berani menatap Naka. Naka jauh lebih tinggi darinya. Pada jarak sedekat itu, dia hanya bisa melihat dadanya.

Aura Naka menyelimutinya, Aruna menarik nafasnya perlahan, sedikit demi sedikit. Kedua tangannya yang menjulur ke bawah meremas-remas pinggiran celana yang ia kenakan.

Aruna tidak berani melawan. Di masa lalu, dia pernah melakukan perlawanan seperti itu berkali-kali. Namun, selalu gagal dan berujung tersakiti.

"Tuan, ini waktunya makan." Pras, suara kepala pelayan itu terdengar di luar pintu. Ini adalah sebuah keberuntungan untuk Aruna.

Pras telah bekerja untuk keluarga Admajaya selama beberapa dekade dan menyaksikan Naka tumbuh dewasa. Dia sangat dihormati oleh Naka.

Naka menjauhkan tangannya dari dada Aruna dan menjawab Pras dengan malas, "Ya, sebentar lagi."

Aruna membuka pintu dan melarikan diri, tetapi kata-kata Naka masih melekat di benaknya.

"Dalam setengah bulan, kamu akan berusia delapan belas tahun, kan?"

Aruna tidak bisa menenangkan dirinya untuk waktu yang lama. Dia tahu betul apa arti 18 tahun.

Setelah makan, Naka keluar. Aruna menghela nafas lega dan tertidur di tempat tidur kecil di gudang. Dia telah tinggal di gudang ini selama sepuluh tahun. Kediaman Admajaya adalah "rumah" keduanya.

Malam itu, Aruna tidak tidur nyenyak. Dia bertanya berulang kali kepada ayahnya dalam mimpinya, "Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah mereka mengatakan yang sebenarnya?" Satu-satunya tanggapan yang dia dapatkan dari sang ayah adalah senyum dan punggungnya saja sebelum dia naik ke pesawat.

Tak satupun dari 17 orang yang naik di pesawat pribadi keluarga Admajaya selamat dari kecelakaan itu, termasuk orang tua Kanaka.

Media melaporkan bahwa itu adalah kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan pilot. Ada juga desas-desus bahwa si pilot mengkonsumsi alkohol sebelum lepas landas.

Ayah Aruna, Heri, adalah pilot pribadi yang disewa oleh keluarga Admajaya. Meski telah meninggal dunia dalam bencana itu, ia tetap menjadi sasaran kritik publik.

Pada akhirnya, Naka lah yang membawanya pulang. Tidak ada yang mengerti mengapa Naka mau mengadopsi putri seorang pendosa.

Pada usia delapan tahun, Aruna memegang tangan Kanaka dan dibawa ke rumah keluarga Admajaya. Saat itu, dia benar-benar mengira jika Naka baik kepadanya karena mereka berdua yatim piatu.

Tapi saat pintu besar itu ditutup, tangannya terlepas. Naka menatapnya dengan mata yang sangat dingin. "Ayahmu sudah meninggal. Kamu harus menebus dosanya."

Pada usia delapan belas tahun, kebencian yang mengelilinginya hampir menelan seluruh dirinya. Pada saat itu, dia sangat memahami bahwa rencananya adalah untuk "membalas dendam" padanya.

Aruna mengalami mimpi buruk sepanjang malam. Ketika dia bangun, langit sudah cerah. Dia dengan lembut membelai dahinya yang agak panas dan melihat hujan yang turun di luar melalui jendela kecil gudang. Dia tersenyum tipis dan berkata, "Hujan turun."

"Runa, pakai baju panjang dan jaketmu, bawa serta mantel hujanmu. Hari ini turun hujan lebat. Jangan sampai kamu masuk angin."

Bi Ida selalu peduli padanya seperti biasa. Selama sepuluh tahun, tidak peduli di musim kemarau, musim hujan atau cuaca panas maupun cuaca dingin, begitu Aruna bangun, Bi Ida akan selalu mengingatkannya.

Aruna menanggapinya dengan anggukan dan senyuman lembut. Dia mengenakan hoodie dan mantel satu-satunya yang ia miliki agar tetap hangat dan tidak kehujanan. Ketika Aruna keluar, Bi Ida melihatnya dan merasa iba.

"Aruna, mintalah sejumlah uang kepada Tuan muda untuk membeli beberapa pakaian. Kamu telah mengenakan hoodie dan mantel ini selama bertahun-tahun hingga lusuh dan tak layak pakai. Gadis-gadis seusia mu membutuhkan uang untuk berbelanja."

Aruna menggelengkan kepalanya dengan keras kepala dan mengendarai sepeda yang basah oleh hujan.

Naka tidak mengizinkan siapapun untuk memberinya apapun, termasuk uang. Dia adalah satu-satunya yang bisa memberikan apapun pada Aruna.

Sejak usia delapan tahun, apapun yang diinginkannya, dia akan berusaha sebaik mungkin untuk menyenangkan Naka. Naka tidak mengizinkan Aruna memanggilnya dengan sebutan kakak, jadi Aruna memanggilnya dengan nama. Naka, nama itu tertanam kuat di hati Aruna.

Dari arah belakang Aruna mendengar suara klakson mobil. Aruna turun dari sepedanya, bergerak ke samping untuk memberi jalan kepada Naka. Ketika sebuah Rolls-Royce hitam melewatinya, melalui jendela yang setengah terbuka, dia menatap mata Naka. Setelah mata mereka bertemu, mobil itu perlahan semakin menjauh.

Namun, tak lama setelah itu tiba-tiba mobil berhenti di depannya. Dia tanpa sadar berhenti juga. Dengan satu kaki di tanah, dia memegang sepeda dengan kedua tangan dan menunggu sang empunya dengan tenang