JoyNovel

Mari Baca dan Kenali Dunia Baru

Buka APP
Aira Pengantin Pengganti

Aira Pengantin Pengganti

Penulis:Anthi anthi

Tamat

Pengantar
Aira tidak pernah menyangka bahwa dia akan menjadi duri dalam hubungan rumah tangga kakak kandungnya dan kekasihnya yang bernama Andrea Devizo–si pria asing yang sama sekali tidak Aira kenali. Namun, dalam hitungan hari pria itu mampu menyandang status sah menjadi suami Aira yang sah dalam mata hukum juga agama. Bagaimana bisa?! Lalu mampukah Aira dalam menjalankan tugasnya–alasan utama dia diperistri oleh Andrea? Semua itu tak lain untuk memberikan calon penerus keluarga yang nantinya akan menjadi penerus saham dan kekayaan keluarga Devizo ataukah Aira akan memilih melarikan diri dari kenyataan yang menyakiti bahwa Andrea adalah kekasih Aurelia–saudara kandungnya.
Buka▼
Bab

"Aira ... sudah waktunya kau berkorban ..." Kata-kata itu seperti berkomandang di telinga dan menusuk hati, lalu memberikan beban yang menekan pundak hingga membuat badan yang tinggal tulang-tulang ini runtuh detik ini juga.

Meskipun keinginanku untuk menolak. Tapi aku sama sekali tidak diberi kesempatan. Hubungan kami mungkin saja sangat dekat, namun hanya kertas biru yang memberikan status sebenarnya. Aku hanyalah anak angkat. Seorang gadis kecil yang dipungut dan dibesarkan dengan serba berkecukupan. Sekarang sudah waktunya balas budi. 'Bagaimanapun juga aku tidak ingin kehilangan identitasku sebagai saudara kandung Kak Aurelia. Adanya dia telah membangun dunia kecilku.'

"Bagaimana, Aira? Kami membutuhkan jawabanmu?"

"Hmm ... aku ikut saja." Jawaban polos, namun sebenarnya hati ini sangat sakit mengatakannya.

*

Malam yang gelap sangat mencengat. Guntur dan hujan bergemuruh seakan alam ikut bersimpati atas kegelisahan seseorang yang terduduk lesu dengan gaun pengganti putih membaluti tubuh sayu putih susunya. Duduk berselonjor, tak senang menekuk lutut, mata hazel keabuan itu menerawang menatap sekujur ruangan. Dinding dinding yang semuanya hampir terdiri dari kaca, sebagian adalah marmer terlihat menyala dan berkilau akibat kilauan kilat dari luar. Matanya menerawang, menatap dengan cemas sekaligus khawatir. Alih-alih memilim berdiri dan lari, mengikuti keinginan hati yang berderu kuat, seakan memandu untuk segera lari dan meninggalkan kenyataan yang sudah ada di depan mata. Kenyataan menghantamnya. Dia harus menerima semuanya, menjadi istri kedua Andrea Dovizo–suami kakak kandung yang sangat ia cintai. Aira berharap hubungannya dan kakaknya akan baik-baik saja setelah pernikahan ini terjadi.

*

"Bisakah kau memberikan aku waktu?" kata Aira saat sosok Andrea muncul dari balik pintu dengan setelah jas yang dikenakan oleh pria itu saat di pernikahan tadi. Mendapat lirikan tajam, Aira merasakan darahhya

mulai berkumpul di pembulu darah, lalu ditusuk dengan benda tajam dan hancur lebur tak tersisa. Bulu kuduknya bahkan merinding berulang kali.

"Aku ... aku minta maaf sudah menjadi orang ketiga dalam hubunganmu dengan Kak Arel," kata Aira yang menjadi tidak enak melihat mimik suram Andrea yang tidak bagus sejak siang tadi. "Em ... meskipun begitu ... kau jangan lupa. Aku lakukan ini juga karena istrimu yang memaksaku." Bibir Aira bergetar, bahkan suaranya pun ikut bergetar karena takut dan tiba-tiba menjadi sangat gugup berbicara dengan Andrea.

Lengan kekar itu terangkat, lalu jari-jari panjang dan besar milik Andrea menyapu rambut klimaksnya dengan kasar. Dia melangkah tanpa memperdulikan keberadaan Aira yang tak dapat berhenti menatapnya. Ini pertama kalinya Aira melihat dengan jelas wajah Andrea Dovizo setelah sekian lamanya.

Melihat Andrea tak menanggapinya membuat Aira kembali bersua, "Bisakah kau memberiku waktu?" ucapnya sekali lagi yang menjadi tersentak dan segera menunduk saat mata elang milik Andrea menatapnya dengan dingin dan benci. Sudah diperkirakan, dia juga terpaksa melakukan pernikahan ini.

"Waktu?!" sahut suara dingin yang berdiri di sebrang sana. Telapak tangan besar Andrea menuangkan wine ke dalam gelas. Gerakan kecilnya mampu mencekam leher Aira dengan hawa dingin yang dimilikinya. "Kau tidak memiliki keistimewaan untuk meminta waktu padaku. Kamu tidak bisa deko deko denganku. Jika bukan paksaan Acha, aku tak sudi melakukan semua ini," kata Andrea dingin.

Aira meneguk ludah. Liurnya seakan tertahan di tenggorokan dan mencekik dengan diam-diam. Suaminya ini benar-benar dingin. Sedingin es di kutub Utara. Menelan ludah dan memikirkan akan seperti apa kedepannya nanti, membuat Aira menghimpit bibir agar air matanya tidak muncul ke permukaan. Akankah dirinya mampu bertahan bersama pria ini hingga tujuan mereka terpenuhi. Sedang Aira tidak mengenalnya. Dia begitu asing di mata Aira dan ini baru 7 menit mereka berduaan tanpa siapapun. Aira bahkan menghitum keberadaan Andrea saat pria itu mulai menginjak kaki di depan pintu kamar.

Pagi tadi saat melihat kakak iparnya yang telah menyandang status sebagai suaminya, Aira sudah mengira bahwa Andrea memiliki tempramen yang buruk. Terbukti pemikirannya tidak salah.

Baru siang tadi mereka melangsungkan pernikahan di gedung mawar Jln.Merpati yang ada di ibu kota, lalu terakhir dilanjutkan dengan resepsi, dan berakhir di tempat ini. Menjadi pengantin tidak mudah. Aira butuh istirahat setidaknya untuk malam ini dia bisa melewati satu malam malam pengantin dengan damai. Tunggu esok baru drama rumah tangga akan dimulai. Seluruh tubuh Aira lelah dan letih. Namun, sekarang masih harus berurusan dengan pria ini yang pastinya akan menguras sisa tenaga Aira yang tinggal secuil. Inilah konsekuensi menjadi istri kedua, duri dalam rumah tangga saudara kandungnya.

"Kita menikah untuk memiliki anak!" Akhirnya kata-kata pendetail keluar juga dari mulut Aira.

Ucapan Aira membuat Andrea mengeras rahang. Wine berhamburan di lantai saat gelas dicengkeram kuat hingga pecah dan jatuh bersamaan di lantai. Aira menyesal karena telah membuat Andrea murka.

"Buka gaunmu dan keluar dari kamarku!" bentak Andrea, suaranya meninggi membuat Aira membulat dan sedikit menyesal telah mengatakan sedetail tadi. "Seharusnya Acha yang memakai gaun itu, bukan kamu. Kamu menghancurkan hari bahagia kami. Seharusnya kami sedang menikmati universeri kami."

Tak mau mengatakan apapun lagi. Aira tak mampu menunggu malu dan menahan secuil kemarahan. Dia segara turun dari ranjang dan melangkah mendekati pintu kamar dengan melepaskan satu persatu potongan kain kain halus dan lembut dari gaun yang dikaitkan dengan teknik tertentu hingga bisa dibuka saat memegang titik ikatnya. Entah keberanian darimana, Aira menarik paksa lapisan meja hias di depannya dan menggunakan lapisannya untuk menutupi tubuhnya, lalu segera melangkah dan pergi dari kamar Andre–si pria terkutuk.

"Aku membencinya ...!" kata Aira yang semakin mengeratkan ayunan kakinya tanpa tujuan yang pasti. Baru sehari Aira menjadi menantu keluarga Devizo dan menginjak kaki di kediaman besar keluarga ini, Aira tak mengenal dengan pasti seluk beluk ruangan disini.

"Ayah dan ibu seharusnya senang dengan pengorbananku ini ..." Aira semakin melajukan langkahnya tanpa melepaskan hils yang membuat sandi kakinya sedikit nyeri dan memerah. Mungkin akan meninggalkan bekas.

*

Joni dan Clara yang sedang duduk di ruang tamu terlihat berderu dengan debatan dan pendapat masing-masing hingga kemunculan menantu baru mereka yang melintas di lantai atas dengan penampilan yang membuat keduanya saling pandang.

Joni refleks geleng kepala. "Andrea ... Andrea ... baru malam pertama anak itu sudah memperlakukan istrinya dengan buruk," kata Joni yang terlihat tidak senang. Istrinya tak kalah tak senang melihatnya.

"Akan ku minta pelayan rumah menuntunya atau pelayan Mona saja agar menuntunnya ke kamar lain. Aku sudah mengiranya jadi sudah ku siapkan kamar untuk gadis itu. Papa jangan marah-marah. Coba sekali saja ngertiin Andrea, ini bukan kemaunya dan dia pasti sedih dengan masalah yang menimpa rumah tangganya. Anak itu sangat mencintainya Aurelia, pah ... butuh waktu agar dia bisa menerima pernikahan ini. Sedang istri yang dia cintai itu tidak bisa kasih anak. Lebih baik tidak usah nikah sekalian daripada punya istri yang tidak bisa beri anak." Dengan tidak berhatinya Clara mengatakan hal itu.

Joni menatap istrinya itu dengan raut tak biasa. Tak menyangka Clara akan mengatakan kata-kata yang seharusnya tidak diucapkan wanita. Nyatanya sebagai suami, Joni lebih peka dan lebih berperasaan. Wajahnya ditekuk mendengar perkataan istrinya. Ajaibnya mampu memecahkan ilustrasi baik yang dipikirkan dari tadi menjadi berkeping-keping. "Dari awal ... seharusnya ku hentikan pernikahan ini. Kedepannya tidak akan baik. Persaudaraan mereka akan berubah setelah ini. Kita sama saja tidak memiliki rasa kemanusiaan dengan mengizinkan Andrea menikah dengan adik iparnya sendiri. Apa mama pernah memikirkan perasaan Aurelia?"

"Sudah 3 tahun beri dia waktu untuk mengandung. Umur Andrea juga sudah 35 tahun, sekarang sudah waktunya memberikan kita cucu," kata Clara lekas berdiri dan membelakangi suaminya itu. "Selamat malam, aku tidur duluan." Clara bergegas meninggalkan suaminya menuju kamarnya yang terletak di lantai atas.