Gadis ini merapikan seragam sekolahnya sebelum turun dari mobil, lalu setelah memastikan penampilannya sempurna ia membuka pintu mobil.
Banyak tatapan yang mengarah padanya, ia tersenyum kepada sopir yang mengantarnya dan hal itu menjadi perhatian orang-orang di sana.
Viennetta Guisella Marnon, sangat populer di sekolahnya ini. Banyak pujian yang terus mengalir mengenai parasnya yang cantik dan sifat lembutnya itu. Tak lupa bagaimana ia balik menyapa orang yang menyapanya, meski jumlahnya sangat banyak ia tak berhenti menerbitkan senyuman. Meski sifatnya diartikan lain oleh para perempuan, ia dianggap penggoda dan memanfaatkan parasnya.
Meski beberapa kali mendengar itu gadis yang akrab disapa Vee ini tak menghiraukannya. Diam adalah emas, ia memegang teguh kalimat itu.
“Hei Caroll!” Vee berteriak ketika melihat sahabatnya Carollina sedang mengobrol bersama kekasihnya.
Carollina melambaikan tangannya, sontak gadis ini berlari kecil untuk memperdekat jarak.
“Hai Vee,” sapa Caroll.
“Hai Vee.” Darwin kekasih sahabatnya itu ikut menyapa.
“Kalian baru sampai?” tanya Viennetta.
Carollina menjawab dengan anggukan, lalu ketiganya berjalan beriringan dengan posisi Carollina berada di tengah.
“Hei Vee, sampai kapan kamu akan populer?” tanya Darwin lalu tersenyum jenaka.
“Aku tidak populer,” sergah Viennetta. Gadis ini tak suka disebut begitu, rasanya sangat tidak nyaman.
“Ayolah Darwin, jangan kamu menggoda dia,” ujar Carollina.
Darwin merangkul kekasihnya itu mesra seraya tertawa. Melihat ini Viennetta seperti orang ketiga di hubungan mereka, tapi itu hanya terlihat di luar, ketiganya adalah sahabat sejak kecil. Namun, rumor sering terdengar bahwa ada cinta segitiga di antara ketiganya. Ada yang mengatakan bahwa Viennetta menyukai Darwin sejak lama dan itu menjadi penyebab gadis itu tak memiliki hubungan serius dengan satu pria pun.
Bagaskara menunjukan keahliannya dalam mengendalikan cahaya, ia menyinari bumi terlalu berlebihan hari ini membuat suasana di luar kelas terlihat panas, tapi itu tak melunturkan semangat para pria dengan permainan basket.
Darwin Marcello, pria tampan dengan postur tubuh tinggi itu begitu mencolok di antara pria lain di lapangan. Ia begitu lihai ketika mencetak angka, membuat banyak gadis histeris karena ulahnya.
Carollina tak ingin kalah dengan gadis-gadis lain, teriakannya begitu kencang sampai membuat Viennetta yang duduk di sebelahnya menutup telinga. Begitulah risiko punya pacar ganteng dan populer, meski ketenaran Darwin sedikit redup karena berpacaran dengan Carollina.
“Darwin semangat!” teriak Carollina.
Ini hanya pertandingan antara kelas IPA dan IPS, seharusnya Carollina membela kelasnya saat ini, tapi ia malah membela Darwin dari kelas IPA hanya karena kesal teman sekelas prianya memberi selamat. Sedangkan Viennetta sendiri ia sebenarnya sekelas dengan Darwin, tapi Carollina memaksa duduk di sampingnya.
“Ayolah Caroll, kamu jangan membuat kita kesal,” kata Elsa, gadis yang sekelas dengan Carollina.
“Aku tak akan membiarkan mereka merebut perhatian Darwin,” kata Carollina.
Viennetta tersenyum kikuk mendengar pernyataan itu. Sahabatnya ini berani membuat teman sekelasnya menatapnya jengkel.
“Vee, bantu aku mendukung Darwin!” seru Carollina.
Viennetta ikut berteriak, sontak teman sekelasnya menatapnya dengan pandangan tak suka. Gadis ini menyadari itu, akan tetapi dia berusaha tak acuh.
Viennetta duduk berhadapan dengan sepasang kekasih ini dengan canggung, setengah mati ia berusaha menutupinya dengan senyuman.
“Kamu harus makan banyak.” Carollina menyuapi Darwin kue.
“Vee, tolong aku ...,” rengek Darwin.
Viennetta tertawa mendengar itu. Keduanya memang sangat cocok.
Sendu, tatapan mata Viennetta berubah sendu untuk sesaat. Dia berpikir, andai dia yang berada diposisi Carollina, apakah Darwin akan tertawa seperti itu?
Kenyataan bahwa ia menyukai Darwin memang benar adanya, tepatnya sudah sangat lama ia menyimpan perasaan ini. Tidak sendirian, Darwin tahu akan itu, tetapi ia memilih Carollina ketika gadis itu menyatakan perasaannya setahun lalu.
Kisah setahun lalu yang membuat hatinya remuk tak tersisa, padahal sebulan sebelumnya ia dan Darwin sama-sama mengungkapkan rasa yang sama. Ya, cintanya tak bertepuk sebelah tangan, keduanya sempat menjalin hubungan, tapi yang terjadi setelahnya, Viennetta meminta mengakhiri hubungan karena tahu Carollina menyukai Darwin.
Saat itu Darwin kecewa dengan keputusannya, membuat pria itu menerima Carollina dengan maksud membalas. Entah apa yang Darwin pikirkan, sekarang bahkan ia tidak peduli dengan perasaannya yang bisa saja cemburu. Namun, Viennetta bukan gadis cengeng, buktinya setahun ini dia melalui ini tanpa gangguan. Darwin juga seperti lupa akan sakit hatinya, dia sudah menerima Carollina sepenuhnya.
Suara hujan mampu meredam suara detak jantung Viennetta, ia berusaha menenangkan diri setelah tadi melihat Darwin yang tiba-tiba menyatakan perasaannya untuk sekian kalinya dengan memberikan sebuah gelang. Setidaknya itu bukan cincin yang akan membuat dadanya bertambah sakit.
“Vee ...”
Viennetta menoleh dan mendapati Darwin berdiri di sampingnya.
“Perlu kamu tahu, aku tak pernah bisa menghapusnya, maksudku perasaanku padamu,” ucap Darwin.
Mata gadis ini terbelalak, ini pertama kalinya setelah setahun Darwin membahas tentang perasaan. Begitu mengejutkan sampai ia ingin memukul pria di depannya.
“Kamu sadar apa yang kamu katakan?” bisik Viennetta.
Darwin terdiam.
“Aku tidak tahu kalo kamu ternyata bermuka tebal. Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, tapi tolong jangan sakiti perasaannya,” ucap Viennetta, sorot matanya menunjukan kekesalan.
Viennetta berdiri dan berkata, “Aku pergi, aku harus menjenguk ibu.”
Darwin hanya bisa melihat Viennetta keluar dari restoran, ia tertunduk lesu setelah mendengar ucapan gadis itu tadi.
Sebuah perasaan aneh menjalar di seluruh tubuh Viennetta ketika dokter berkata ibunya sudah tak bisa diselamatkan. Bulir bening membasahi pipinya yang putih, seketika pertahanannya ambruk dan ia terduduk di lantai.
Ibunya yang sangat berharga telah tiada.
Tangisnya meledak ketika lebih mencerna kalimat itu. Ayahnya segera merengkuh tubuh mungilnya dan mencoba menenangkan gadis kecilnya.
Tumor otak, itu adalah penyakit yang dilawan ibunya selama tiga tahun, dan sekarang ibunya menyerah karena sudah terlalu sering merasakan sakit. Meski tahu dengan begini ibunya tak perlu merasakan sakit, tapi Viennetta tetap menangis, karena dengan itu dia benar-benar telah kehilangan ibunya, untuk selamanya.
Kata selamanya yang tak bahagia adalah saat kehilangan. Yang paling didambakan dari kata ‘selamanya’ adalah kebahagiaan. Manusia tak bisa menghindari keduanya jika Tuhan telah berkehendak, hal yang sangat umum dirasakan manusia.
Paginya pemakaman berlangsung dengan lancar. Darwin dan Carollina menemani Viennetta sampai acara selesai. Terlihat banyak sekali orang yang memberikan penghormatan terakhir untuk ibunya.
“Vee ...”
Viennetta mengerti ketika Carollina memanggilnya, ia bangkit dan berjalan meninggalkan pemakaman.
“Yang sabar ya,” kata Carollina seraya merangkulnya.
Viennetta mengangguk dan berusaha tersenyum, hal yang sangat sulit dilakukan tapi dia tetap melakukannya.
Marnon, yang tak lain ialah ayah Viennetta memberikan kabar bahwa ia harus ikut pindah besok lusa. Sangat mendadak sampai membuat Darwin dan Carollina terkejut, Viennetta tentu saja merasakan hal yang sama.
“Maaf Vee, ayah tidak bisa mencegah ini, kita harus pindah,” ucap Marnon.
Viennetta hanya terdiam, jika memang ayahnya mengatakan begitu ia hanya bisa mengikutinya. Namun, apa tidak terlalu cepat meninggalkan rumahnya yang penuh kenangan ini? Ia bahkan belum bersiap untuk mengucapkan salam perpisahan kepada dua sahabatnya.
“Ke mana, Om?” tanya Darwin.
“Kota sebelah, kalian masih bisa menemui Vee sesekali, tapi harus bilang dulu kepada saya,” kata Marnon.
Carollina memeluk sahabatnya begitu erat, dia enggan berpisah dengan Viennetta meski tahu keduanya masih bisa bertemu.
“Ayah keluar sebentar, mau mengurus sisanya.” Marnon meninggalkan tiga orang ini di ruang tamu rumahnya.
Carollina merasa khawatir, ia sempat mendengar desas-desus tentang kota sebelah.
“Vee, kamu harus berhati-hati di kota itu, terlebih kota bernama London,” ujar Carollina.
Gadis ini mengernyitkan kening.
“Vampir,” kata Darwin menyahut.
“Betul, aku dengar di sana banyak vampir yang membaur dengan manusia, bahkan sebagian penduduknya adalah Vampir.” Carollina berucap serius.
Viennetta menganggap itu sebagai ucapan agar dia terhibur, lantas ia menunjukan senyumannya.
“Vee, aku tidak berbohong,” ujar Carollina.
“Caroll, aku tidak percaya dengan hal itu, berhenti menakutiku,” kata Viennetta.
Carollina terus berusaha meyakinkan Viennetta tentang cerita yang ia dengar, tapi sahabatnya ini hanya tersenyum sebagai tanggapan.
Tanpa ia sadari kepercayaannya ini akan ia sesali beberapa hari setelahnya.