Malam bertabur bintang, angin malam berhembus lembut menerpa kulit remaja 17 tahun itu. Dengan gesitnya dia mengendarai skateboard menyusuri jalanan yang sepi.
“Woy, Bintang!” teriak seseorang. Remaja pencinta skateboard itu menghentikan kecepatannya dan menoleh. “Abi? Kamu ngapain di sini? Oh, aku tahu pasti lagi cari mbak-mbak waria, 'kan, haha.” Tawa Bintang pecah.
“Sialan! Kubanting baru tahu rasa, Tang. Bukan gitu, tadi aku lihat papamu di klub malam.”
Bintang sontak terperanjat kaget, “Apa! Di mana!”
Abi lalu menuntun Bintang ke tempat yang dimaksud. Benar apa yang dikatakan Abi, papa Bintang berada di sana. Bintang langsung masuk ke sana dan menemui papanya.
“Oh, ini kerjaan Papa, hah!” seru Bintang marah.
“Bi–Bintang? Kamu kok ada di sini?”
“Kenapa, kaget? Gak habis pikir aku, Pa. Mama menghilang tapi, Papa bukannya pergi cari. Malah asyik dengan wanita lain!”
“Bintang ini gak seperti apa yang kamu lihat.”
“Terus apa!” Bintang berteriak kesal dan berlari keluar menerobos kerumunan orang yang menonton mereka. Ia berlari tanpa arah, Abi yang melihat hal itu langsung menyusul langkah Bintang.
Bintang terlihat begitu kecewa melihat sikap papanya yang mulai berubah sebulan ini semenjak mamanya yang kerja di luar kota lost kontak dengan mereka. Langkah Bintang mulai melambat, Abi yang sedari tadi mengejarnya pun sudah ngos-ngosan. Mereka sampai di padang rumput yang luas, cahaya bulan terlihat bersinar terang di malam itu. Bintang merasa kedua kakinya lemas. Lututnya seakan-akan tak mampu lagi menopang tubuhnya. Remaja itu duduk bersimpuh di hamparan rumput.
"Salahku apa! Kenapa keluargaku hancur?” Bintang berteriak pilu sambil mengepal tangannya kesal.
“Tenangin dirimu, Tang. Masih ada aku di sini, sahabatmu,” ujar Abi mengelus pelan pundak Bintang.
“Thank's,” sahut Bintang murung.
“Udah malam banget nih, Tang. Gak pulang?”
“Gak, Bi. Aku di sini aja. Dulu, setiap mama pulang, kami selalu di sini bareng ngeliat bintang di langit,” tutur Bintang.
Abi merasakan kekecewaan dan kesedihan mendalam yang dialami sahabatnya. “Tang!” seru Abi sambil bangun dari tempatnya. Bintang sontak ke arah Abi.
“Katamu tadi, sering ke sini buat lihat bintang, 'kan? Coba deh, lihat ke langit, Tang!”
Meski tengah bersedih, Bintang menuruti ucapan Abi. “Lihat, Tang! Bintang di langit memang kecil dan kalah sama bulan. Tapi, dia gak pernah sendiri ada banyak yang mendukung dia. Kamu gak boleh patah semangat gini! Mana Bintang yang kukenal? Bintang yang selalu ceria dan bersinar meski untuk orang lain? Aku sahabatmu, Tang. Kamu tahu, 'kan, diriku ini yatim piatu. Aku sempat terpuruk tapi, karena ada kamu. Kusadar, hidupku masih panjang dan gak ada gunanya bersedih. Kamu harus bangkit, Tang! Kamu boleh kecewa dengan papamu tapi, jangan sampai itu yang membuatmu jadi seperti orang yang gak berguna!” ujar Abi lantang.
Seketika Bintang sadar dan bangun dari tempatnya, kesedihan di hatinya berangsur mulai pudar. “Makasih, Bi. Aku janji gak bakal jadi orang seperti ini lagi,” ucap Bintang senyum tipis di wajahnya.
“Gitu dong, baru sahabatku!” sahut Abi berbarengan dengan tawa mereka. Keduanya pun pulang. Bintang memutuskan untuk menginap di rumah Abi. “Next, kamu ke mana, Tang?” tanya Abi.
“Rencana sih kuliah, Bi.”
“Oh.” Abi mengangguk-angguk mengerti.
“Btw, kamu sendiri ke mana? Nikah? Haha ....” cerocos Bintang cekikikan.
“Nantilah, belum ada yang pas,” jawab Abi ikut tertawa. “Oh ya, Tang. Aku bakal pindah ke Bandung, tempat nenekku. Kayaknya bakal lama mampir ke sini,” ungkap Abi kemudian.
“Aku ikut,” titah Bintang langsung.
Abi terlonjak kaget nyaris tak percaya. “Ma–maksudnya kamu ikut denganku pindah? Terus papamu gimana?” ujar Abi tertawa kecil.
“Biarin ah, males. Bandung juga tempat mamaku kerja, siapa tahu aku bisa bertemu 'kan. Tenang aja, Bi. Nanti, aku bakal bayar sewa, selama tinggal di rumah nenekmu. Aku kerja sambil kuliah nanti, jadi gak perlu khawatir,” terang Bintang.
“Santai aja, Tang. Aku senang kok, kamu mau tinggal bareng denganku. Tapi, kamu tetap harus izin sama papamu, Tang.”
“Oke ... oke,” sahut Bintang kemudian.
***
