“Ini uang yang anda inginkan,” ucap seseorang bertubuh kekar, dengan pakaian serba hitam, menyerahkan satu koper berisi uang.
Wanita berambut sebahu, dengan senyum mengembang menerima koper itu. Kemudian mengkode gadis berambut panjang di sampingnya dengan arahan mata. Gadis itu mengangguk, lantas berlalu memasuki sebuah kamar yang tak jauh dari ruang tamu, dimana saat ini mereka berada.
Brukk!!!
Gadis berambut panjang itu, mendorong gadis yang ia tarik paksa dari dalam kamar tadi, hingga tersungkur ke lantai.
“Bawa dia, saya tak menginginkannya lagi!” Wanita yang bernama Rini itu berucap dengan nada sinis sambil melirik gadis yang masih terduduk di lantai dengan uraian air mata.
Tak ada sedikitpun rasa iba pada diri wanita itu. Yang ada di pikirannya saat ini, hanya uang, uang, dan uang. Bahkan dengan teganya ia menjual sang anak tiri pada seseorang yang memintanya untuk dijadikan istri.
“Bu, ja—jangan ju—jual a—aku hanya karena uang. Aku bukan barang!” ucap gadis berjilbab syar’i itu dengan tegas, sambil terbata-bata, karena isakan tangis.
“Saya nggak peduli! Yang penting saya dapat uang. Lagipun saya nggak butuh kamu lagi. Kamu itu hanya bakteri buat saya!” Dengan angkuhnya wanita itu berucap, dengan menatap tajam gadis yang masih terduduk di lantai itu.
“Kamu! Cepat bawa dia! Saya sudah muak melihatnya!” Perintahnya pada dua orang di hadapannya.
Kedua orang berbadan kekar, dan berpakaian serba hitam itu lantas membawa gadis itu keluar dari rumah. Berontak? Tentu gadis yang bernama Fara Anindita itu berontak, minta dilepaskan.
“Bu, tolong Dita, Bu. Dita nggak mau ikut mereka.” Dita masih berusaha melepas cekalan di kedua lengannya. Sambil mengiba pada sang ibu tiri agar tak jadi menjualnya. Namun sayang, wanita dan gadis yang berada disampingnya, yang tak lain Kakak tirinya itu hanya tersenyum senang melihat adegan yang terjadi di depan mata mereka.
Tentu mereka senang. Karena dengan mereka menjual gadis itu pada seorang CEO kaya di kota, mereka mendapatkan uang yang sangat banyak. Ditambah mereka juga akan menguasai semua harta warisan yang diwariskan oleh ayah-nya Dita untuk Dita, seperti rumah, dan beberapa hektar tanah. Karena Dita sudah tak berada di rumah itu lagi.
Setelah kematian ibu-nya Dita, Arman -Ayah Dita- menikahi seorang janda beranak satu di desanya. Awalnya mereka baik-baik saja, namun setelah Arman meninggal, dan mewariskan seluruh hartanya untuk Dita, sikap Rini -ibu tiri Dita- berubah, begitu juga dengan Rara -kakak tiri Dita-. Sikap yang dulu selalu baik dan ramah pada Dita, kini berubah menjadi jahat dan kasar. Semua pekerjaan rumah, selalu dikerjakan oleh Dita. Begitupun untuk mencari uang. Sehabis pulang sekolah, Dita bekerja paruh waktu, sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang yang membutuhkan tenaganya.
Sore hari, Dita baru pulang ke rumah. Bukan sambutan atau perhatian yang Dita dapatkan. Melainkan hanya cacian dan bahkan tak jarang mendapat pukulan dari sang ibu tiri. Jika Dita tak membawa uang. Namun, jika Dita membawa uang pulang ke rumah, maka semuanya akan dirampas habis oleh Rini.
Lima bulan Dita melakukan semua itu dengan ikhlas. Sampai akhirnya ia lulus Sekolah Menengah Akhir. Tak pernah sekalipun ia mengeluh, atau mengadu pada orang lain. Semua luka dan sakit yang Dita rasakan, ia tutup rapat-rapat olehnya, dan hanya pada sepertiga malamlah ia mengutarakan semuanya pada sang Maha Kuasa. Dita selalu berdo’a agar sang ibu dan juga kakak-nya bisa berubah, dan kembali seperti dulu.
Namun sekarang, nasi sudah menjadi bubur. Dita harus menelan pil pahit, dirinya dijual pada seseorang yang dia sendiri pun tak tau siapa. Ingin meminta tolong, namun pada siapa? Dita hanya sendiri orang tuanya sudah tak ada lagi di dunia ini. Tetangga pun seakan tak peduli dengan dirinya.
Dita hanya bisa pasrah, saat dirinya dimasukkan ke dalam mobil sport hitam, yang membawanya pergi entah kemana.
“Jika ini memang takdir terbaik, Dita ikhlas. Karena Dita yakin, Engkau telah merencanakan yang terbaik untuk Dita.” lirih Dita dalam hati, sembari menghapus jejak buliran bening yang masih setia luruh dari pelupuk matanya.
Mobil yang membawa Dita, berhenti tepat di depan sebuah rumah mewah bertingkat. Desain dan enteriornya sangat mewah dan elegan. Siapapun yang melihat rumah itu, pasti akan terperangah karena keindahan dan kemewahannya.
“Bangun!” Seseorang membangunkan Dita yang terlelap akibat kelelahan, karena terlalu lama menangis. Ditambah perjalanan yang memakan waktu tiga jam lebih itu.
Dita mengerjap-ngerjapkan matanya. Lalu melangkah turun dari mobil. Dita membelalakkan matanya, saat melihat rumah mewah di hadapannya.
“kita sudah sampai?” tanya Dita pelan, karena sedikit takut pada dua orang tadi yang masih setia berada di sampingnya.
“Iya, silahkan masuk,” ucap salah satu dengan nada tegas.
Dita mulai melangkahkan kakinya memasuki area teras rumah. Pintu terbuka, beberapa pelayan wanita telah berjejer menyambut kedatangannya.
“Antarkan ke kamar! Dan pastikan tak ada sedikitpun cacat. Kalau tidak, Tuan nggak akan segan-segan untuk memecat kalian. Paham!” Para pelayan mengangguk. Kemudian dua orang berbadan kekar tadi meninggalkan Dita dan para pelayan itu.
“Silakan masuk Nyonya. Kami akan mengantar Nyonya ke kamar,” ucap salah satu pelayan wanita itu.
Dita yang merasa bingung, kemudian menoleh ke arah kiri dan kanan. “Maaf, anda bicara dengan saya?” Pelayan wanita itu mengangguk.
“Tapi saya bukan Nyonya disini?”
Pelayan wanita itu tersenyum. Kemudian menuntun Dita menuju kamar di lantai dua. Sesampainya di kamar, beberapa pelayan tadi meletakkan beberapa perlengkapan untuk Dita.
“Silakan istirahat dulu, kalau Nyonya lapar, di ruang makan sudah terhidang makanan. Kalau begitu kami pamit. Kalau ada yang dibutuhkan Nyonya lagi, panggil saja, dengan menekan tombol yang ada di samping pintu.” Pelayan yang menuntun Dita tadi menunjuk ke arah samping pintu. Dita hanya mengangguk. “Terima kasih.”
Para pelayan pun pamit dari kamar yang Dita tempati. Terdengar dari kejauhan suara azan berkumandang. Gegas Dita ke kamar untuk mengambil wudhu. Selesai bersih-bersih, Dita pun melaksanakan tiga rakaat, dan empat rakaat yang tertinggal saat perjalanan tadi. Usai salat, Dita mengganti bajunya dengan baju yang dibawakan pelayan tadi.
“Huh!” Dita mengembuskan nafasnya dengan kasar.
Masih terbayang jelas, bagaimana ibu tirinya menjual dirinya seharga satu miliar. Apakah harga diriku semurah itu? Dan orang yang membeliku pun tak tahu seperti apa rupanya? Ya Allah, ujian apa lagi yang Engkau berikan pada Dita, Ya Allah. Batin Dita menjerit, bulir bening kembali hadir membasahi pipinya.
‘Tegarkan dan sabarkan lah Dita, untuk menghadapi semuanya Ya Allah.”
*********
Tok, tok, tok.
Ketukan di pintu, membuat Dita berjalan ke arah pintu untuk membukanya. Pintu terbuka, pelayan wanita yang ditaksir berumur tiga puluh tahunan itu, tepat berada di hadapan Dita.
Dita tersenyum. “Ada apa, Mbak?” tanya Dita ramah.
“Makanan sudah siap dari tadi, Nyonya. Sebaiknya, Nyonya makan dulu, sebelum makanannya dingin.” Dita hanya mengangguk, kemudian melangkah keluar menuju meja makan. Usai makan, Dita pun kembali ke kamar, mengistirahatkan fisik dan juga hatinya yang ikut lelah.
