JoyNovel

Vamos ler O Mundo

APP aberto
The Evil Boss

The Evil Boss

Autor:Periwinkle

Concluído

Introdução
Bercerita tentang seorang atasan cantik yang dijuluki "The Evil Boss" karena sifatnya yang otoriter, pemarah, egois, sombong, dan terkenal suka 'menyiksa' karyawannya. Leona Angelica sudah menginjak usia 27 tahun, membuat keluarga besarnya menginginkan sebuah pernikahan untuknya. Tetapi, Leona tidak pernah mendambakan sebuah pernikahan karena baginya laki-laki hanya penghalang kesuksesannya. Pada suatu hari Nenek Maya masuk rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya, ia merasa bahwa hidupnya sudah tak lama lagi. Keinginan tersebesarnya adalah melihat cucu kesayangannya, Leona menikah. Dengan berat hati Leona menyanggupi permintaan terakhir nenek yang sangat ia sayangi. Leona mengajukan kawin kontrak dengan salah seorang pegawainya, Rey Aksara Pratama. Awalnya, Rey tidak mau menjalin kawin kontrak bersama atasannya karena baginya pernikahan hanya dilakukan satu kali. Namun, imbalan yang sangat menggiurkan dan keterbatasan ekonomi serta beban tanggung jawab yang dipikulnya untuk membahagiakan keluarganya membuatnya terpaksa menandatangani kawin kontrak tersebut.
Mostrar tudo▼
Capítulo

Leona Angelica merupakan seorang direksi perusahaan manufaktur industri di bidang elektronik. Jika dilihat secara fisik, Leona adalah perempuan yang sangat cantik dengan perawakan tubuh yang tinggi, putih, langsing, hidung mancung, bibir mungil, dan bola mata berwarna coklat gelap, dirinya bak bidadari.

Sebuah mobil Mercedes Benz V-Class warna rocky crystal white berhenti di depan pintu masuk utama perusahaan industri terbesar ke-8 di Indonesia. Leona segera menutup laptopnya dan memasukkan ke dalam tas laptop berwarna cyan. Laki- laki paruh baya yang duduk di bangku supir segera turun dan membuka pintu mobil untuk Leona.

“Nanti saya hubungi saat pulang kerja,” ucap Leona sembari keluar dari mobil dengan membawa tas laptopnya.

“Baik bu,” sahut laki-laki paruh baya tersebut dengan sopan dan menundukan kepalanya.

Ketika Leona memasuki kantor perusahaan, seluruh karyawan berdiri menyambutnya dengan penuh hormat. “Selamat pagi, Bu Leona!” sapa mereka.

“Pagi!” balas Leona singkat dengan wajah tanpa senyuman.

Sarah selaku sekretaris perusahaan bergegas menghampiri Leona dengan membawa beberapa dokumen ditangannya. “Semua berkas untuk meeting dengan tim divisi perencanaan produksi sudah saya siapkan Bu, ” ujarnya sambil memberikan berkas yang dibawanya.

Leona melirik sekilas berkas, lalu beralih menatap jam tangan yang melekat di pergelangan tangannya. “Lima Belas menit lagi saya akan ke ruangan meeting,” jawabnya menatap perempuan paruh baya yang hampir menginjak kepala empat, “Pastikan tidak ada yang terlambat!” pesannya sebelum ia pergi meninggalkan Sarah.

Sarah mengangguk ragu. “Baik Bu,” sahutnya.

Setelah mendengar jawaban dari sekretarisnya, Leona berjalan menuju lift dan menekan angka empat untuk menuju ke ruangannya.

Karyawan yang sedari tadi berdiri tegang menghela nafas dan kembali duduk di tempatnya masing-masing. Meskipun Leona memiliki paras bak bidadari, tetapi sikapnya sangat bertentangan dengan parasnya. Hal ini membuat seluruh karyawan sangat takut pada Leona dan tak sedikit karyawan yang membicarakannya dibelakang.

Sarah segera mengambil smartphone dari dalam saku bajunya, ia langsung menghubungi Darren yang merupakan manajer perencanaan produksi. Tidak lama setelah nada panggil, akhirnya panggilannya terhubung.

“Pagi Bu Sarah!” sapanya dengan sopan, “ada apa Bu?” sambung Darren dari telepon.

“Semua anggota tim sudah siap?” tanya Sarah, “Lima belas menit lagi Bu Leona ke ruangan meeting, lebih baik kamu siapkan sebelum Bu Leona datang!” suruhnya.

“Ehem…” Darren terdengar ragu untuk melanjutkan ucapannya. “Sebenarnya… Bu Rini belum datang,” sahut Darren bernada lirih.

Mata Sarah melebar, tangannya bergerak memijit ujung pelipis. “Kamu udah coba hubungi Rini?” tanya Sarah was-was.

“Sudah…” lirih Darren, “Tapi telepon saya tidak diangkat,” sambungnya pelan.

Sarah menghembuskan nafas gusar. “Ya sudah, kamu siapkan aja tim yang ada dan jangan lupa terus coba hubungi Rini!” perintah Sarah, “Kamu tau kan gimana Bu Leona kalau marah,” ucapnya mengingatkan manajer divisi produksi itu.

Darren mengangguk cepat. “Baik bu!” jawabnya sebelum sambungan telepon terputus.

...

Darren tidak berhenti mondar-mandir di depan pintu masuk ruangan meeting sambil sesekali melirik jam di smartphone-nya, terakhir kali Darren menghubungi Rini dan perempuan paruh baya itu mengatakan bahwa sedang diperjalanan menuju kantor karena pagi tadi ia harus ke apotek membelikan obat untuk suaminya.

Pintu ruangan meeting terbuka, Rey keluar dari ruangan lalu menutup kembali pintu ruangan. Dia menghampiri rekan kerjanya yang sedang gelisah, Rey menepuk pundak Darren. “Ren, tenangin diri kamu, mau aku ambilkan minum dulu ke pantry?” tawarnya.

Belum sempat Darren menyahut tawaran rekannya, suara high heels berbunyi dari sudut kantor, mereka berdua sontak mengalihkan pandangan dan mencari asal suara, bukannya Rini yang datang melainkan Bu Leona.

“Bu Leona, Rey!” bisik Darren dengan penuh penekanan.

“Aku tau!” balas Rey sambil melirik sekilas rekannya yang sudah menundukan kepala.

Leona menghentikan langkahnya tepat di hadapan Darren dan Rey. “Kenapa tidak masuk ke ruangan?” tanya Leona, “cepat masuk sekarang!” perintah Leona dengan tegas.

Darren dan Rey mengangguk cepat.

“Silahkan Bu…” ucap Darren sembari membuka pintu ruang meeting dan mempersilahkan direksinya itu masuk lebih dulu.

Seperti biasa, ketika Leona memasuki ruangan seluruh tim produksi berdiri menyambut kedatangan Leona, diikuti oleh Darren dan Rey di belakangnya.

Leona mengernyitkan dahi. “Tunggu apa lagi?” tanyanya, tetapi tidak seorangpun yang berani menjawab pertanyannya. “Darren, mulai meetingnya!” suruhnya.

Darren menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dahinya agak berkeringat padahal ia berada di ruangan ber-AC. “Maaf Bu…” Darren mengambil nafas dalam sebelum melanjutkan perkatannya. “Bu Rini masih dalam perjalanan menuju kantor,” lirihnya.

Leona meletakkan pulpennya dengan kasar di atas meja, sontak semua karyawan yang berada di ruangan kaget dan refleks menundukkan kepala. “Kamu menyuruh saya menunggu!?” tanya Leona dengan penuh amarah, “Kamu tahu tidak saya paling tidak suka waktu saya terbuang percuma” geramnya.

Darren merapatkan bibirnya dan melirik jam dinding, lalu berpaling menatap pintu ruangan dengan harapan Rini segera datang.

“Lebih baik kamu pilih, kamu mau mulai meetingnya sekarang atau mau nunggu Rini dan saya keluar dari ruangan ini?!” tanya Leona.

Darren menarik nafas panjang dan menghembuskannya. “Saya mulai meetingnya sekarang Bu” Kata Darren.

Darren berdiri dan membuka meeting. “Selamat Pagi semua, saya selaku manajer perencanaan produksi akan memulai meeting kita pada pagi hari ini” ujarnya.

Semua mata tertuju kepadanya dan mendengarkan kata pembukaannya dengan penuh perhatian.

“Tanpa mengurangi rasa hormat dan waktunya, kepada rekan kerja saya Rey dipersilahkan untuk menyajikan perencanaan produk terbaru,” ujar Darren dan mempersilahkan Rey untuk maju ke depan.

Rey berdiri dari tempat duduknya dan membungkukan badannya sedikit guna memberikan salam hormat kepada direksi perusahaan, Leona. Kemudian ia berjalan dan berdiri di samping layar proyektor.

“Bimo tolong tampilkan power point-nya,” pinta Rey pada laki-laki bertubuh gempal dengan potongan rambut klimis.

Bimo mengancungkan jari jempol dan menampilkan power point pada layar proyektor, Rey langsung membacakan produk terbaru yang mereka keluarkan yaitu televisi tanpa kabel.

Pada pertengahan meeting berlangsung terdengar bunyi ketukan pintu dari luar, Rey menghentikan penyampaiannya dan menatap Darren seolah mengatakan sepertinya Rini yang mengetuk pintu.

“Masuk!” suruh Sarah dengan nada tinggi.

Rini memasuki ruangan dengan perasaan bercampur aduk antara takut dan gelisah, ia membungkukan badan ke arah Leona lalu segera duduk di kursinya.

“Ehem!” Rey berdehem untuk mengembalikan fokus orang-orang yang berada di ruang meeting. “Saya lanjutkan lagi persentasinya, sasaran pasar untuk produk ini adalah…” Rey menjelaskan produk terbaru mereka dengan penuh percaya diri dan terlihat sangat menguasai.

“Apakah ada tanggapan Bu?” tanya Rey diakhir penyampaiannya.

Leona melepas kacamata radiasinya. “Saya lumayan tertarik dengan produk yang kalian rencanakan, tetapi untuk biaya pembuatan produk lebih dirincikan lagi,” komentarnya sambil membaca berkas yang berisi catatan pendanaan.

“Baik Bu!” sahut Rey tersenyum tipis.

Leona meletakkan dokumen tersebut dan menatap Rey yang masih berdiri di depan. “Besok pagi kita akan mengadakan meeting untuk revisi anggaran pendanaan!” perintah Leona membuat Rey sedikit terkejut dan beberapa karyawan terlihat frustasi.

“Ada yang keberatan?” tanya Leona.

Seluruh karyawan yang berada di ruangan menggelengkan kepala. Tidak ada yang berani menentang keputusan Leona selaku pimpinan perusahaan tempat mereka bekerja.

“Jam berapa jadwal meeting kita hari ini?” tanya Leona dengan nada menyindir sembari menatap Rini yang langsung menundukkan kepalanya.

“Jam Delapan, Bu,” sahut Siska salah satu tim produksi.

“Rini!” panggil Leona dengan intonasi tinggi, “Kamu datang ke ruangan ini jam Delapan lewat 28 menit” hardiknya.

Rini menggigit bibir bawahnya. “Maaf Bu…” lirihnya.

Leona melipat kedua tangannya di dada. “Berikan saya alasan kenapa kamu bisa terlambat,” suruhnya.

Rini mulai memberikan diri mengangkat kepalanya. “Suami saya sakit, jadi tadi pagi saya pergi ke apotek dulu beli obat untuk suami saya, dalam perjalanan saya terjebak macet,” jelasnya.

Leona memutarkan bola matanya. “Saya tidak suka ya kalau ada karyawan yang tidak professional seperti kamu,” katanya dengan sinis, “saya tidak bisa menerima alasan kamu, gaji kamu saya kurangi 28 ribu, sesuai waktu keterlambatan kamu" ujar Leona dengan ketus.

“Tapi Bu, suami saya benar - benar demam tinggi dan saya harus membelikannya obat,” sanggah Rini.

“Kamu mau menentang keputusan saya!?” bentak Leona, “jika kamu memilih menjadi wanita karir maka kamu harus bersikap professional!” semburnya.

Rini kembali menundukkan kepalanya, keberaniannya menciut dan ia tak bisa berkata apa-apa lagi selain menganggukan kepala.

Leona berdiri dari tempat duduknya hendak keluar dari ruangan, “Rey, nanti datang ke ruangan saya!” suruhnya sebelum melangkah keluar ruangan.

...

‘Tok tok tok’

Suara ketukan pintu menggema di ruangan bernuansa soft yang merupakan ruangan direksi. “Masuk!” sahut orang yang berada dalam ruangan itu yang tak lain adalah Leona.

Rey membuka pintu dan memasuki ruangan yang penuh dengan harum buah persik. “Ada yang bisa saya bantu Bu?” tanyanya sopan.

“Buatkan saya teh manis!” perintah Leona tanpa menatap Rey dan terus berkutat dengan laptopnya.

Rey memiringkan kepalanya dan mengernyitkan dahi. “Ibu manggil saya cuma untuk membuatkan ibu teh manis? tanya Rey dengan ragu.

Leona menatap tajam. “Apa perlu saya ulangi lagi perintah saya?” tanyanya dengan ketus.

Rey menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Maaf sebelumnya Bu, bukannya disini ada office Boy? Kenapa ibu tidak menyuruh mereka?”

“Apa bedanya kamu sama office boy? Kalian bekerja di perusahaan yang sama dan atasan kalian juga sama yaitu saya,” ujar Leona dengan arogan, “Buatkan teh manis saya sekarang, jangan lama!” suruhnya lagi.

Dengan berat hati Rey tersenyum tipis dan menuruti perintah atasannya. “Baik Bu,” jawab Rey.

...

Rey mengambil cangkir dan piring kecil di pantry dan menyeduh teh melati untuk atasannya yang sangat arogan itu.

“Kalo bukan gara-gara gaji disini lumayan besar, udah lama aku resign” gerutu Rey sambil memasukkan satu setengah garam ke dalam gelas, ia tidak sadar bahwa yang dimasukkan bukan gula melainkan garam.

...

Rey meletakkan cangkir yang berisi teh manis diatas meja Leona, direksinya itu sama sekali tidak mengucapkan terima kasih dan langsung meminum teh manis tersebut.

Sepersekian detik berikutnya Leona langsung menyemburkan tehnya, Rey membulatkan matanya terkejut.

Leona mengambil tisu dan mengelap ujung bibirnya. “Kamu gabisa bedain mana gula dan garam!?” pekiknya.

Kedua mata Rey menyipit. “Jangan-jangan aku salah masukin gara-gara gak fokus tadi” ucapnya dalam hati, “Maaf Bu, saya tidak sengaja,” ucap Rey menundukkan kepalanya.

Leona mengepalkan tangannya dengan geram. “Push-up lima menit!” perintahnya, tetapi Rey masih diam mematung, “Tunggu apalagi? Cepat!” Bentaknya.

Rey segera mengambil posisi hendak push-up dan Leona mengambil smartphone dan mengatur stopwatch dalam mode hitungan mundur selama lima menit.

“Jangan berhenti sebelum lima menit!” perintah Leona.

“Ini sih namanya perbudakan,” pikir Rey dalam hati.

...

Seorang pelayan dengan pakaian batik dipadukan dengan bawahan celana kain hitam menghampiri meja nomor 16 dengan membawakan nampan berisi pesanan, “ini mbak, mas pesanannya,” tutur pelayanan tersebut.

“Makasih mas,” sahut Rey tersenyum ramah.

“Rey, aku liat-liat keliatannya letih sekali muka kau, kaya abis olahraga berat saja,” ujar Bimo sambil memasukan pentol daging ke mulutnya.

Rey tertawa miris. “Aku dihukum push-up sama Bu Leona, gara-gara waktu aku disuruh bikin teh manis tapi malah masukin garam,” sahutnya.

Mereka yang mendengar pernyataan Rey tertawa.

“Pasti lucu kali muka Bu Leona minum teh asin,” komentar Bimo dengan logat khasnya.

“Tapi emang gila Bu Leona, padahal aku gak sengaja malah disuruh push-up lima menit,” protes Rey.

Rini mengangguk cepat. “Aku setuju, Bu Leona gak punya hati nurani, masa suamiku demam gak dikasih toleransi sama sekali,” cibirnya.

Darren mengangguk-angguk sambil menunjuk jari ke arah Rini. “Aku ingat pernah dihukum berdiri setengah hari di depan ruangan Bu Leona gara-gara gak nahan lift waktu Bu Leona mau naik lift,” ujar Darren.

Siska menghela nafas berat dan menopang dagunya dengan salah satu tangannya. “Akhir tahun ini aku mau nikah sama pacarku, kira-kira Bu Leona ngasih cuti gak ya?” lirih siska frustasi, pasalnya mereka semua tahu Leona tidak menyukai jika karyawannya menikah terutama perempuan, karena Leona berpikir hal tersebut mengganggu kinerja karyawannya.

Rini memegang bahu Siska. “Tenang, dewan pimpinan pasti ngasih cuti. Meskipun setelah itu Bu Leona bakal hilang respect sama kamu,” sahut Rini dan dibalas dengan anggukan kecil oleh Siska.

Darren memajukan kursinya dan menopang dagu dengan kedua tangannya antusias. “Menurut kalian, Bu Leona bakal nikah gak? Atau…” Darren menghentikan perkataannya sesaat dan memperhatikan reaksi rekan kerjanya. “Bu Leona bakal jadi perawan tua kesepian?” sambungnya.

Seketika tawa mereka pecah.

“Bukan perawan tua kesepian, tapi perawan tua kaya raya,” sanggah Bimo, dibalas dengan anggukan setuju oleh rekan-rekannya.

Bimo meletakkan sikunya diatas meja dan menunjuk ke arah rekannya bergantian. “Aku kasih tau ya, evil boss kaya Bu Leona, hanya laki-laki tangguh dan kuat mental yang mampu bersanding sama dia,” ujarnya.

Rey tertawa renyah. “Tuh yang diomongin datang,” ucapnya melirik perempuan dengan baju kemeja ungu muda dengan lapisan blazer hitam dan dipadukan rok span hitam selutut memasuki kantin kantor.

Mereka yang berada di meja itu menutup mulut agar meredam tawa, sementara Rey hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah konyol rekan-rekan kerjanya saat melihat Leona si ‘Evil Boss’ yang sedari tadi diperbincangkan.

Disisi lain Leona melihat dari kejauhan tim perencanaan produksi bertingkah konyol seperti sedang membicarakan sesuatu yang lucu.

“Sudah berumur tingkah mereka masih aja kayak remaja puber” cibirnya sembari berjalan ke meja kasir untuk memesan makanan.

“Beef burgernya satu, kentang gorengnya satu, sama ice lemon tea-nya satu,” pesan Leona kepada perempuan penjaga kasir, “antarkan pesanannya ke ruangan saya!” titahnya memberikan selembar uang berwarna merah.

Petugas kasir menerima uang tersebut dan mengambil uang kembalian, “ambil aja sisanya,” kata Leona, lalu berjalan keluar kantin.