JoyNovel

Vamos ler O Mundo

APP aberto
QUIRKYALONE

QUIRKYALONE

Autor:AisyahLehta

Concluído

Introdução
Istilah ''Quirkyalone'', mengacu pada seseorang yang menikmati jomblo dan tidak berpacaran dengan sembarang orang. Namun istilah yang diterapkan oleh PRANADIPA ALTERIO harus runtuh ketika ia bertemu dengan gadis bernama LIAZANA ULFA. Tidak gampang bagi Lia untuk bisa masuk dan mempengaruhi kehidupan Dipa. Dipa yang tidak pernah menganggapnya ada, dan terus mengabaikan perjuangan Lia yang bersusah payah untuk mendapatkan balasan atas perasaannya yang menaruh hati pada Dipa semenjak pertemuan pertama mereka. Dipa selalu berlari di kala Lia mengejar, hati yang bertubi-tubi disakiti perlahan mulai mengundurkan diri. Itulah yang membuat Lia pada akhirnya pasrah dan menyerah atas perasaannya pada Dipa. Ia pergi dari kehidupan Dipa yang tidak pernah membutuhkan kehadirannya. Lia tidak percaya dengan kalimat, ''Usaha tidak akan mengkhianati hasil.'' Namun Dipa percaya pada kalimat, ''Jodoh sudah ada yang mengatur, bila memang berjodoh, sejauh mana jarak memisahkan akan tetap bertemu jika Tuhan mempersatukan.'' Ini adalah kisah yang memerlukan waktu panjang, sama seperti Lia yang mencintai Dipa sepanjang waktunya. Percayalah, kisah cinta Lia dan Dipa akan sampai di masa depan yang akan datang.
Mostrar tudo▼
Capítulo

Jika aku adalah hero,

Mungkin kamu musuh pertama yang akan aku bunuh!

***

"Non! Jangan pegang apa-apa, yang ada nanti jatuh atuh Non!"

"Aduh, Bibi. Panggil nama aja! Lia nggak bakalan nurut, kalo Bibi terus manggil Non!" sahut gadis bernama Lia seraya mengangkat bunga kertas berwarna ungu yang cukup besar di pelukan tangan mungilnya.

"Lia! Awas, ada batu!"

"Gitu dong Bi. Aaaaaa!"

Bruk.

Gadis remaja yang bernama lengkap Liazana Ulfa, itu, terjatuh dengan posisi yang mengenaskan. Bunga yang berukuran lumayan besar itu, melayang cukup jauh terhempas dari tangannya.

Sedangkan Lia, ia terjatuh telungkup, di aspal jalan depan rumahnya seperti cicak yang sedang menempel pada dinding.

Lia meringis pelan seraya membalikkan tubuhnya menjadi terlentang dan mengelus-ngelus lengan tangannya yang menjadi tumpuan kepalanya saat terjatuh.

Bi Nurmala langsung menurunkan meja kaca yang ada di pelukannya dan meletakkan meja itu di sembarang tempat karena khawatir sesuatu yang fatal terjadi pada Lia, anak dari sang manjikan. Bi Nurmala berlari menghampiri Lia yang masih terlentang tanpa memiliki niat untuk berdiri sendiri. "Non Lia, Non enggak kenapa-kenapa, kan, Non?"

"Enggak papa kok Bi, cuma sakit dan berdarah doang." sahut Lia seraya cengengesan dan menatap Bi Nurmala dari bawah.

"Yah Mbak, cantik-cantik kok tidur di aspal. Mending tidur sama Mas deh, dijamin nyaman." gumam lelaki dewasa yang sedang lewat dari hadapan Lia, lelaki itu bertugas mengangkat barang-barang milik Lia dari truk berwarna kuning untuk dipindahkan ke dalam rumah baru Lia.

"Nanti deh, nanti. Kalau aku udah bosan tidur sama aspal baru tidur sama emas." sahut Lia dengan posisi masih tiduran di aspal tanpa menoleh ke arah lelaki itu.

"Mas kali Non, bukan emas." jawab lelaki dewasa itu kesal, lalu bergegas pergi meninggalkan Lia yang langsung cengengesan.

"Udah-udah." Bi Nurmala menepuk keningnya saat melihat Lia yang masih tiduran di atas aspal komplek. "Sekarang teh, Non Lia masuk ke dalam rumah dulu, biar Bibi obatin lukanya."

"Bantuin dong Bi ...." rengek Lia dengan mata yang menengadah ke atas, melihat Bi Nurmala yang sedang berdiri.

"Caranya gimana atuh non?"

"Di seret aja Bi, pasti seru kok!"

***

Pranadipa Alterio yang kerap di panggil dengan nama Dipa. Ia sedang berada di dalam kamarnya, menikmati alunan musik yang dimainkan oleh jari-jemarinya. Melompat dari satu tuts ke tuts lainnya, menghasilkan alunan merdu yang membuat candu.

Namun saat sedang mendalami peran, Dipa terusik akan sesuatu yang membuatnya kehilangan fokus dalam memainkan piano alat musik kesayangannya. Ia menghentikan aksi bermain Piano nya, lalu memejamkan matanya sebentar berusaha meredam emosi yang sedang menggebu.

Dipa bangkit dari duduknya dan berjalan menuju balkon kamarnya. Ia membuka pintu kaca balkon lalu menatap heran ke arah balkon kecil di hadapannya yang jaraknya cukup dekat dari balkon kamar Dipa.

"Bibi ..., Lianya jangan di seret beneran!"

Dipa menutup telinganya kala mendengar teriakan yang nyaring itu, lalu ia mengalihkan tatapannya ke halaman rumah bercat gelap di hadapannya. Di sana ada seorang gadis yang ditarik paksa oleh seorang wanita paruh baya.

Crazy girl. Dipa membatin.

Dipa membalikkan tubuh hendak kembali melangkah masuk ke dalam kamar karena sudah tahu siapa pelaku yang tadi mengusik ketenangannya saat bermain piano, ia berjalan pelan kembali masuk ke dalam kamar.

"HAII! KENALIN GUE TETANGGA BARU LO!"

Langkah kaki Dipa langsung berhenti saat mendengarkan teriakan itu, Dipa berdiri di ambang pintu balkon. Rahang jangkungnya refleks mengeras, menahan suara nyaring yang masuk ke dalam gendang telinganya hingga terdengar berdengung.

Dipa cepat-cepat masuk ke dalam kamar, lalu menutup pintu balkonnya karena tidak ingin mendengar teriakan nyaring itu lagi yang sangat mengganggu dan berisik.

"YA-YAH ... KOK PERGI?!" teriak Lia dari balkon kamar nya yang baru saja ia masuki saat melihat sosok lelaki tampan sedang berdiri di sebuah balkon depan kamar balkon Lia.

"NAMA GUE, LIAZANA ULFA! PANGGIL GUE LIA! SALKEN WOY, NAMA LO SIAPA?? JANGAN PERGI DULU!"

Lia mendengus saat melihat tirai putih kamar lelaki itu di tutup dengan cepat. Ia tidak mendapatkan respon dari lelaki tampan itu, mungkin lelaki itu terganggu dengan kehadirannya.

Tadi, saat Bi Nurmala menyeret paksa Lia, ia tidak sengaja menengadah ke atas tepat pada balkon di samping rumahnya. Ia melihat ada sosok lelaki yang sedang menatap ke arah dirinya. Melihat Dipa dari jauh, refleks Lia tersenyum senang karena membayangkan bahwa ia akan memiliki teman seumuran.

Lia melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak, agar Dipa bisa mendengarnya. Namun Dipa malah pergi dari balkon itu dan berbalik, dengan secepat kilat Lia berlari masuk ke arah rumahnya dan mengabaikan rasa sakit di lutut kakinya demi bertemu dan bisa menyapa Dipa.

Lia sangat penasaran dengan wajah Dipa karena Lia tidak dapat melihatnya dengan jelas saat berada di halaman rumah. Tetapi Lia juga tidak bisa melihat wajah Dipa saat ia sudah berada di balkon yang berhadapan dengan balkon Dipa. Bahkan sebelum Lia berbicara, Dipa sudah pergi meninggalkan dirinya dan tidak mengubris Lia yang sedang memperkenalkan diri.

Lia menopang dagu dengan sikut yang bertumpu pada pagar sepinggang balkon, ia masih menatap ke arah balkon kamar Dipa berharap lelaki itu keluar dan kembali menyapa Lia. "Dia sengaja ninggalin gue?" kesal Lia dan menegakkan tubuh lalu berkacak pinggang. "Awas aja lo jatuh cinta sama gue, nggak akan gue terima!"

Lia mencebikkan bibirnya, ia masih menatap kesal ke arah balkon kamar Dipa. "Sombong banget jadi tetangga, huh!" rutuk Lia hendak menendang pagar balkon, namun ia langsung menjauhkan kakinya saat merasakan nyeri di area lutut kakinya.

"Aw, sakit banget!" Lia menatap lutut kakinya yang terluka. "Seharusnya gue nurut sama Bibi, biar luka gue di obatin. Ngapain gue lari ke sini sih?!"

"Gara-gara lo nih!" Lia kembali menunjuk kamar Dipa dengan kesal. "Karena gue udah rela abaikan rasa luka gue demi lo, mau gimana pun caranya lo harus temanan sama gue. Nggak mau tahu!" ucap Lia berbicara pada dirinya sendiri, namun matanya tak lepas dari balkon kamar Dipa yang tertutup, seolah-olah Dipa sedang berdiri di sana sembari mendengarkan ocehan Lia yang tidak penting.

"Huhuhu ... Sakit banget tauu!" Lia menurunkan tangannya dan membalikkan tubuh untuk masuk kembali ke dalam kamar. "Lutut gue masih berdarah, perih banget."

Lia masuk ke dalam kamar dan menutup pintu kaca kamarnya, sebelum benar-benar pergi ke lantai bawah, Lia menyempatkan diri untuk mengintip kecil di balik tirai putih tipis yang menutupi kaca balkon kamarnya. Ia mengintip ke arah balkon kamar Dipa, berharap Dipa keluar dari dalam kamarnya dan Lia bisa melihat dengan jelas wajah Dipa yang membuatnya sangat penasaran.

Namun saat tidak melihat keberadaan Dipa di balkon kamar itu, Lia menghela napas lelah. "Yaudah deh, nanti juga kelihatan mukanya."