JoyNovel

Vamos ler O Mundo

APP aberto
Dosen Pilihan Omah

Dosen Pilihan Omah

Autor:Saia_Ucu29

Concluído

Introdução
Menjadi seorang model adalah cita-cita Sarah Adelima sejak kecil, cita-cita itu sudah ia raih sejak empat tahun silam. Setelah empat tahun berkarier, Sarah diharuskan pulang untuk dijodohkan dengan Dosen muda pilihan Omahnya. Sarah menolak keras permintaan omahnya, dan kabur ke Jakarta bersama temannya Once. Sarah bekerja sebagai model di tempat kerja Marvel (sepupu Once) tetapi, syarat menjadi model di perusahaan itu adalah minimal lulusan S2. Sedangkan Sarah hanya lulusan S1. Akhirnya, ia memutuskan untuk kuliah sambil bekerja. Dan siapa sangka ternyata pemilik perusahaan tempat Sarah bekerja adalah milik Bayu Andrean (dosen pilihan Omah nya). Bayu juga menjadi dosen di tempat Sarah kuliah.
Mostrar tudo▼
Capítulo

"Nggak Omah! Sarah gak mau nikah sama laki-laki yang sama sekali Sarah gak kenal!" tolakku di balik sambungan telepon.

Saat ini Aku sedang ada di tempat pemotretan. Walaupun Omah sudah menyuruhku pulang, tapi ayolah! Aku tidak ingin pulang hanya karena akan dijodohkan! Aku masih perlu menikmati kehidupanku ini.

"Sarah, ini demi kebaikanmu! Omah perintahkan kamu pulang hari ini, atau Abang mu yang akan menjemputmu ke sana, sekarang!" ancamnya.

Aku memutar bola mataku malas. "Ya ya ya! Terserah Omah saja, Sarah mau ada pemotretan sekarang, oke?"

Aku langsung mematikan sambungan telepon dengan Omah. Rasanya malas sekali, memangnya ada apa dengan dosen itu? Apakah dia anak konglomerat, sampai-sampai Omah memaksaku untuk menikah dengannya? Tapi, tidak-tidak! Keluargaku juga kan keturunan konglomerat, mana mungkin mereka menikahkan ku hany karena uang? Lalu, karena apa? Argh! Itu membuat ku pusing sendiri.

"Sarah?!"

Aku memalingkan wajah mencari siapa yang memanggilku.

"Sekarang giliranmu, cepat!" suruhnya.

Oke! Aku segera bersiap-siap untuk pemotretan kali ini. Masalah Omah yang akan menjodohkan ku ... masa bodolah, yang terpenting saat ini adalah pemotretan, Aku harus tampil bagus kali ini, setidaknya tidak mengecewakan.

Aku memasuki ruang pemotretan, sudah banyak kamera dan lighting yang sudah menyala menunggu kehadiranku. Aku berdiri dengan gaya di depan kamera.

"Are you ready?"

"Ready!"

Dalam hitungan ketiga, terdengar suara tepukan yang lumayan cepat. Aku harus berpose secepat tepukan itu. Sebenarnya bagi model profesional, ini adalah hal mudah. Sama seperti yang Ku lakukan saat ini, pemotretan kali ini berjalan dengan sangat mulus tanpa ada cacat sedikitpun.

Aku segera mengganti pakaianku, menghapus make up yang terlalu menor ini dan menggantinya dengan make up yang tidak terlalu monohok.

Sedari tadi ponselku terus berbunyi, Omah, Abang, Ayah dan Ibu, tak henti-hentinya menelponku, Aku yakin mereka hanya ingin membicarakan tentang pernikahan, Pernikahan, dan pernikahan!  Aku membiarkan saja ponselku berbunyi tanpa ada niatan untuk menjawab.

Beberapa saat ponselku hening tidak ada lagi suara dari benda itu. Tak lama, benda pipih itu berbunyi kembali, Aku berdecak kesal, namun kekesalan itu berubah saat yang menelponku bukan Omah, atau keluarga lainnya, melainkan Once yang menelponku. Aku segera mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Once. How are you today?" tanyaku girang.

"Hi, I'm fine, and you?"

"I'm fine to," jawabku masih dengan nada yang sama.

"Btw, mau ngomongin apa? Katanya penting bin banget?" tanya Once.

Mendengar pertanyaan Once, Aku langsung teringat dengan apa yang kupinta semalam. "Once, boleh minta tolong, gak?" Aku berharap Once bisa membantuku kali ini. Hanya kali ini.

"Bolehlah, apa emang?"

Aku menghela nafas pelan. "Nce, Omah lagi sakit, ya?" tanyaku was-was. Semalam Omah mengatakan bahwa dia sedang sakit, dan memintaku untuk pulang, aku takut itu hanyalah modus dari mereka.

"Omah? Kayaknya gapapa deh, soalnya tadi pagi gue liat dia lagi olahraga," jawab Once.

Aku sudah menduga itu sejak Omah mengatakan dia sakit. "Udah gue duga! Yaudah, makasih ya Nce."

"Iya! Eh, Sar udah dulu ya, ada tamu."

"Oke!" Panggilan Once langsung mati. Aku langsung menatap ponselku, sudah kuduga jika Omah tidak benar-benar sakit. Mengapa mereka harus berbohong seperti itu hanya agar Aku pulang? Apakah mereka tidak berpikir, bagaimana jika Omah benar-benar sakit? Aish!

Aku menyimpan ponselku lagi dan melanjutkan menghapus make up. Baru saja aku akan mencuci muka, ponselku berdering kembali, siapa yang menelpon? Kulihat nama Once lagi di sana. Tanpa ba bi bu lagi aku segera menjawabnya.

"Rah! Omah lo! Omah lo meninggal. Eh, sakit katanya. Eh, nggak katanya tapi beneran," ucap Once dengan suara belepotan, seperti aktor yang baru pertama kali bermain film.

"Apa sih, Nce? Yang jelas dong!" tanyaku.

"Omah lo beneran, sakit! Dia terus panggil-panggil nama lo, kasian banget."

Aku sedikit bingung dengan perkataan Once, bukannya tadi?

"Omah lo udah sakit dari Minggu lalu, tadi pagi agak mendingan terus lagi pagi, dan sekarang drop lagi, intinya lo cepet pulang!" ucap Once tergesa-gesa.

"Tapi, gue gak bisa pulang sekarang, Nce. Banyak kerjaan yang harus gue kerjain."

"Lo harus pulang SEKARANG Sarah! Omah lo kritis, lo mau Omah lo meninggal dan lo gada di sisinya?" tanya Once, nada bicaranya sudah sedikit serius.

"Lo yang bener dong, Nce!"

"Gue beneran Sarah, lo pulang sekarang! Atau Omah lo ... mati, eh, meninggal maksud gue. Lo pulang Sarah!" rengek Once.

"Once lo nangis?" tanyaku saat mendengar suara Once yang seperti meringis.

"Lo pulang cepetan, Sarah!" menangis? Once menangis? Apa jangan-jangan Omah benar-benar sakit? Parah? Kritis?

"Cepatan pulang Sarah! Sekarang!"

"Iya, t--"

Nutttt nutttt nuttt

Panggilan Once berakhir. Once mematikannya sepihak? Pikiranku saat ini sangat tidak baik-baik saja. Bagaimana? Apa yang harus Aku lakukan sekarang? Aku segera berlari ke kamar mandi untuk mencuci muka.

Tidak ada cara lain! Aku harus pulang dan melihat secara langsung apa yang tengah terjadi saat ini. Aku tidak ingin Omah benar-benar meninggal tanpa ada Aku di sana. Bagaimanapun Omah adalah omahku. Walaupun terkadang wanita tua itu menyebalkan, tapi Aku menyayanginya, Aku tidak ingin kehilangannya secepat ini. Tunggu Aku Omah.

Setelah datang di apartemen aku segera membereskan baju dan semua peralatanku. Aku sudah memesan tiket pesawat yang terbang hari ini. Aku juga sudah membatalkan semua jadwal pemotretan hari ini. Walaupun Aku tau resiko dari pembatalan ini, tapi tidak apa-apa Omah lebih penting kali ini. Pekerjaanku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan Omah.

Soal perjodohan itu, Aku akan membujuk Omah agar ia tidak jadi menjodohkan ku dengan dosen itu. Aku yakin Omah pasti akan mengerti. Aku menarik koper berwarna merah maroon itu keluar dari apartemen. Taxi sudah menungguku, langsung saja Aku masuk ke dalam taxi, dan taxi itu langsung pergi.

Aku juga sudah mengirim pesan pada Abang, jika Aku akan pulang menjenguk Omah hari ini. Saat diperjalanan air mataku sempat jatuh, Aku akan merindukan kota ini, kota yang membuatku nyaman tinggal sendirian tanpa kerabat dan saudara. Aku tidak mengerti dengan air mataku, sepertinya aku juga menangis karena membayangkan bagaimana jika Aku sampai di rumah sudah banyak orang menangis dan bendera kuning berkibaran di sela-sela gerbang.

Argh! Pikiranku terlalu jauh. Aku harus berpikir positif, Omah tidak akan pergi sebelum Aku datang. Omah akan baik-baik saja! Aku tidak perlu khawatir, yang terpenting saat ini aku akan pulang menjenguk Omah.